Ramein, yaa!!!
Setibanya di rumah, Jeffrey marah pada ibunya. Karena dia tahu jika Joanna marah padanya karena gertakan ibunya yang ingin dia cepat menikah. Sebab itu juga yang Jeffrey rencanakan sebelumnya. Namun justru reaksi seperti itu yang Joanna berikan. Seolah enggan bersama dengannya padahal Jeffrey tahu jika Joanna masih memiliki rasa.
"Mama pasti salah bicara, kan? Sampai-sampai Joanna marah dan---"
"Sumpah Mama bilang seperti apa yang kamu minta. Sampai Mama hafalkan setiap katanya! Mama suka Joanna kalau kamu lupa, tidak mungkin Mama sengaja menambahkan kalimat yang akan membuatnya terluka."
Jeffrey diam saja, membuatnya semakin dilanda gundah. Marah juga karena Joanna tampak semakin menunjukkan rasa tidak suka. Sebab selalu denial dengan perasaan.
Dengan alasan gunjingan tetangga dan rekan kerja. Padahal, Jeffrey juga tidak akan meminta Joanna bekerja pasca menikah. Ya, meksipun dia tidak bisa menjanjikan pinda dari sana. Karena Jeffrey memiliki tanggung jawab untuk memimpin pabrik plastik milik keluarga.
"Tidak makan malam dulu?"
"Tidak. Nanti saja."
Jeffrey langsung menaiki tangga. Berniat mandi dan menyegarkan pikiran. Sebab kepalanya pusing pasca mendengar jawaban Joanna.
Satu minggu berlalu. Selama itu pula Jeffrey selalu berangkat siang karena tidak ingin bertemu dengan Joanna. Dia juga pulang cepat karena tidak ingin berpa0pasaan dengannya di jalan maupun di depan rumah.
Membuat Jeffrey semakin belingsatan karena tidak bisa bertemu dengan wanita yang disuka. Namun tidak bisa melunak pula karena Joanna tidak kunjung mendekati dirinya dan merasa kehilangan.
"Jeffrey, kamu sudah selesai mandi? Mama mau ke rumah Liana, mau memberikan ayam kecap yang Mama buat karena kebanyakan. Mau kamu antar atau Mama saja?"
Jeffrey yang awalnya sedang bermain ponsel di atas ranjang, kini langsung berteriak dan mengiyakan ucapan ibunya. Tidak lupa memakai parfum dari atas hingga bawah. Serta, menyisir rambutnya ke depan. Memperlihatkan jidat dan alis tebal yang menurutnya seksi luar biasa.
"Thanks, Ma. Tahu saja aku butuh alibi untuk ke sana."
Jessica tersenyum singkat. Karena saat ini Jeffrey tampak senang sembari membawa semangkuk besar ayam kecap yang memang sengaja Jessica buat banyak agar anaknya bisa modus nanti malam. Karena malam ini adalah malam minggu tentu saja. Dan Jessica tidak ingin anaknya kembali galau-galauan di dalam kamar sembari menyayikan lagu Judika berulang-ulang.
"Nanti lama-lama saja di sana. Soalnya ada Bu Tara dan anaknya mau datang. Mau menjdohkan kalian katanya. Mama kurang suka dia. Ya, meksipun anaknya lulusan kesehatan. Tapi Mama kurang suka dengan rekam jejak orang tuanya. Padahal, tidak salah anaknya juga, ya? Tapi, pokoknya kamu jangan pulang kalau tidak Mama panggil, ya!?"
Jeffrey mengangguk cepat. Tersenyum pada ibunya. Karena senang sebab memiliki ibu yang pengertian seperti Jessica.
Tok... Tok...
Menunggu cukup lama, pintu akhirnya terbuka. Joanna pelakunya, dia baru saja mandi dan keramas. Rambutnya juga masih basah. Membasahi kaos putih yang dia kenakan. Karena saat ini dia hanya memakai pakaian rumah sederhana, yaitu celana training dan kaos saja. Tidak seperti Jeffrey yang tadi sempat ganti pakaian dengan kaos polo hitam dan celana hijau tua. Senada dengan sendal rumah yang dikenakan.
"Dari Mama. Mana Janu dan Tante Liana?"
"Mereka keluar. Masuk saja. Aku mau menyelesaikan cucian."
Jeffrey mengangguk singkat. Lalu memasuki rumah. Meletakkan makanan yang dibawa di atas meja makan. Diletakkan dia atas tudung saji di sana.
Kemudian mengintip Joanna yang sedang memeras celana Janu di temat cuci pakaian. Lalu berniat mengangkat bak besar yang berisi pakaian basah pada lantai dua rumahnya. Karena selepas kerja di Singapura, Rosa bisa membangun rumah orang tuanya hingga memiliki dua lantai sekarang.
"Aku saja!"
Ucap Jeffrey sembari meraih bak Joanna. Lalu menaiki tangga perlahan. Kemudian diikuti Joanna dari belakang. Hingga akhirnya tiba di jemuran. Dengan keadaan remang-remang karena penerangan hanya berasal dari lampu kuning saja.
"Kamu turun saja. Aku bisa sendiri."
Cegah Joanna ketika Jeffrey ingin ikut menjemur pakaian. Membuat pria itu bersih keras ingin membantunya. Karena sebagai ajang modus tentu saja.
"Banyak begini. Aku sedang tidak ada kerjaan di rumah. Santai saja."
Joanna akhirnya mengiyakan ucapan Jeffrey. Kemudian menjemur pakaian semabari menahan degupan jantung yang tidak berhenti bertalu kencang saat ini. Karena malam ini, Jeffrey tampak tampan sekali meksipun hanya diterangi cahaya minim.
Beberapa menit berlalu. Mereka akhirnya selesai menjemur. Sebelum turun, Joanna menyempatkan untuk mengucapkan terima kasih pada pria itu. Kemudian dihadiahi oleh anggukan pelan dan senyum tulus.
"Jeffrey, tolong jangan berharap lebih padaku. Karena aku tidak akan goyah dengan pendirianku. Kita tidak akan pernah bisa bersama. Aku tidak ingin mengabulkan tuduhan orang yang pernah memfitnah jika kita punya hubungan."
Jeffrey mengadu alisnya. Tampak tersinggung dengan ucapan Joanna. Sebab dia mengira jika hubungan yang dimaksud adalah hubungan sehat ketika mereka sama-sama tidak memiliki pasangan. Bukan hubungan perselingkuhan yang membuat Joanna merasa benar-benar direndahkan.
"Jadi, itu aib menurutmu?"
"Iya. Kamu pikir---"
Jeffrey langsung tertawa sumbang sekarang. Dia juga langsung membelakangi Joanna sembari menatap langit malam. Guna menhalau air mata yang tiba-tiba ingin tumpah tapa diminta.
"Jadi seperti ini dirimu? Hah, ternyata aku hanya membuang-buang waku. Oke. Aku akan berhenti mengejarmu jika kamu pikir hubungan ini hanya aib bagimu. Kau lihat itu? Dia wanita yang akan Mama jodohkan denganku. Mulai sekarang, aku tidak akan peduli padamu! Tidak akan berdekatan denganmu! Tidak akan lagi berharap bisa bersamamu! Kali ini aku serius dan kuharap kamu tidak menyesali itu!"
Setelah berkata demikian, Jeffrey langsung pergi menuruni tangga. Lalu setengah berlari menuju rumah. Sebab ingin menunjukkan keakrabannya dengan Bu Tara dan anak perempuannya yang baru saja datang dan memencet bel rumah di depan gerbang.
Joanna, dia masih berada di atas. Menatap Jeffrey yang sedang mengulurkan tangan pada si wanita di depan gerbang. Sebelum akhirnya membukakan gerbang untuk mereka. Serta, tidak menatapnya ketika menutup gerbang dari dalam.
Joanna mulai menyeka air mata. Lalu membawa bak turun melewati tangga. Membuatnya berpapasan pada Janu dan Liana yang baru saja pulang berbelanja.
"Cuciannya kamu bereskan semua, ya? Padahal baru saja mau Ibu selesaikan setelah pulang. Sudah makan? Ibu ambilkan, ya?"
Joanna menggeleng pelan. Lalu meletakkan bak di dekat ruang loundry mereka. Kemudian memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Sebab dia ingin menengis seperti biasa. Menangisi Jeffrey yang tidak akan bisa digapai seumur hidupnya.
Jeffrey layak mendapatkan wanita yang lebih baik. Tidak sepertimu si janda problematik!
Joanna mulai membuka ponselnya, membaca balasan dokter kenalannya yang dulu akan mengoperasi Tama. Sebab Joanna ingin menggantikan Tama dengan kakaknya.
Ya, meskipun kecil kemungkinan Janu bisa kembali berjalan normal. Namun, apa salahnya berusaha? Karena Joanna sudah benar-benar lelah dengan hidupnya. Lelah dengan gunjingan orang dan dendam yang kini berangsur-angsur hilang dari hatinya.
Mungkin. Mungkin saja, dia akan bisa kembali hidup tenang setelah melihat Janu bisa kembali berjalan normal. Seperti sebelumnya.
Tbc...