30. Umpan

61 18 0
                                    

"Hari ini cerah, ya? Nggak bagus kalau pasang wajah muram begitu. Masa kalah sama matahari."

"Kakak, tahu nggak bedanya Kakak sama tali jemuran, kalo tali jemuran buat menggantung baju, kalo Kakak menggantung harapanku sampai pelaminan. Eak!"

"Semalam aku mimpi Kakak jadi Edward Cullen, Eh, mimpiku kenyataan sekarang. Kakak jadi dingin begini. Tapi Kakak nggak mengisap darah, 'kan?"

"Aku jadi ragu sama teori ada aksi pasti ada reaksi. Sedari tadi aku nyerocos, sama sekali nggak ada balasan dari Kakak. Kakak lagi sariawan, ya?"

"Tapi nggak apa-apa, sih kalo Lily dicuekin terus. Lily nggak kesel, kok soalnya Lily udah paham sifat Kakak. Kalau gitu Lily aja yang ngebacot."

"Kakak kalo makan bubur, tim diaduk dulu atau langsung makan? Kalo aku tim langsung makan. Kan jijay kalo diaduk dulu. Kayak muntahan Thanos. Eh! Bentar. Emang Thanos pernah muntah nggak, sih?"

"Tiba-tiba jadi pengin siomaynya yang waktu itu makan sama Banyu, deh. Soalnya enak banget. Nanti aku ajak dia ke sana, akh! Siapa tahu ditraktir lagi. Kan mayan uang jajan aku nggak kurang. Bisa aku tabung buat beli album baru bities."

Sontak aku dihadapkan pada delikan mautnya. Aku balas saja dengan pandangan naif. "Kenapa?"

"Apa kamu sedang menguji kesabaranku, Lily?" Akhirnya ia membuka suara juga.

Aku selalu suka cara ia memanggilku setelah menegur. Terdengar seperti mendapat teguran dari seorang ayah. Mengusik ketenangannya adalah sesuatu yang sangat mengasyikan.

"Aku hanya mengatakan apa saja yang ada di pikiranku, tidak lebih."

"Semakin aku melarangmu, kamu akan semakin mendesakku."

Aku nyengir. "Aku tidak akan berhenti, sebelum Kakak melibatkanku dalam rencana."

Konfrontasi ini berlangsung beberapa hari. Belum ada titik terang sampai sekarang. Namun aku tidak pernah lelah untuk mendesaknya setiap hari. Ujung-ujungnya ia akan diam dan menghindar. 

Ia mendesah. Mengetukkan jari pada setir. Sementara jempol kanannya ia gigit dengan siku menumpu pada jendela.

Tuhan begitu berbaik hati mengirimkan guardian yang gantengnya ngalahin Kim Taehyung padaku. Aku tidak punya alasan lain selain bersyukur setiap detiknya.

"Aku akan bilang iya, jika kamu mau menurutiku." Ia menoleh, menunjukkan ekspresi enggan.

Apa dia bilang? Maksudnya dia menyetujui keinginanku?! Praktis aku mengangguk, saking antusiasnya leher serasa mau copot.

Ia berdecak. "Jangan senang dulu. Aku mengizinkanmu membantu hanya sebatas mengorek informasi dari Diana saja. Selebihnya jangan harap kamu jadi umpan Alex. Aku nggak rela."

Gigiku eksis selebar-lebarnya. "Aku akan jadi kaki tangan Kak Erza yang terbaik." Lengkap juga dengan gestur hormat ala tentara untuknya.

"Ingat, tidak ada yang boleh tahu selain kita. Kamu harus mengabari aku sekecil apa pun informasi dan jangan berlagak sok bisa melakukan sendirian, meskipun hal itu kecil janganlah segan meminta tolong."

"Siap, kapten Erza!"

Aku menggosok tangan. "Tidak sabar menjalankan misi pertama. Ini seperti kita sedang menguak kasus besar. Ibarat Kakak adalah Sherlock Holmes dan aku dokter Watson. Eh, dokter Watson, 'kan cowok!" Beralih aku menggosok dagu, berpikir. "Kakak jadi Shinichi Kudo aja, aku yang jadi Ran-nya. Pasangan serasi, 'kan?" Aku berkedip bermaksud menggodanya.

"Jangan dikira kita sedang bermain detektif-detektifan, kamu tidak tahu seberapa berbahayanya situasi yang sedang kamu hadapi. Kalau cuma untuk keren-kerenan, mending lupakan tujuanmu sekarang juga."

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang