1. Jalan Bersimpangan

85 18 0
                                    

Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki. Jika hilang tak akan dicari, jika mati tak ada yang mengakui.

Itulah slogan yang selalu dipegang teguh seorang intelijen ke mana pun misi membawanya.

Agen sepertiku, apa peduliku tentang slogan tersebut. Kematian bahkan kuanggap lelucon tak berarti, yang siapa pun pasti akan mengalami. Jadi, untuk apa ditakuti. Tapi, itu dulu sebelum aku mengenal siapa Lily.

Sekarang prinsipku bertolak belakang 180 derajat seiring janji-janji yang sudah terlanjur kulontarkan untuknya.

Berusaha tetap hidup.

Aku tidak ingin mati sebelum janjiku terpenuhi. Tidak ingin menyakitinya lebih dalam lagi. Sudah cukup apa yang sudah kulakukan dua tahun lalu. Meninggalkannya tanpa alasan jelas. Pergi darinya dengan berjuta pertanyaan membingungkan mencokol kepalanya.

Hidupku terlalu kompleks untuk dijabarkan satu-satu.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kebersamaanku dengan Lily hanya mengundang bahaya untuknya saja. Kalau diingat, aku menyesal memperbolehkannya tahu lebih banyak tentangku.

Pergi darinya untuk sementara waktu adalah caraku melindunginya. Tidak mengapa bila langkahku menjadi bumerang untukku sendiri dengan risiko kehilangan Lily. Tidak apa-apa, asal dia di sana tetap hidup aman.

Setidaknya aku butuh waktu maksimal lima tahun untuk menyelesaikan misi dan persoalan hidupku. 

Begitu segalanya selesai. Aku akan mengundurkan diri dari Eagle Eyes. Hidup normal dan segera kembali menyembuhkan hatinya yang berdarah. Mengembalikan tahun-tahun penuh siksa menjadi surga baginya. Mewujudkan mimpi yang sempat putus lantas mengikatnya lagi dengan simpul mati. Walau itu semua tidak akan pernah mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.

Sabar.

Fokus.

Tinggal dua tahun lagi.

Aku akan berusaha menyelesaikan  semuanya secepat dan serapi mungkin. Menyelesaikan pendidikan strata satu. Menghancurkan kartel narkoba beserta jaringannya.Mengantarkan Hermawan ke Nusakambangan. Mengembalikan nama baik ayah. Melindungi keluarga Effor dari ancaman mafia kelas kakap.

Satu lagi malaikat kecilku yang menungguku pulang.

Dan dia yang sedang menyumpah serapahi diriku dengan seluruh kebencian di dalam dirinya.

Ah! Aku terlalu merindukan mulutnya yang ceplas-ceplos. Merindukan tingkah lakunya yang hiperaktif. Merindukan wajahnya yang ekspresif dan seluruh bagian yang ada pada dirinya.

Sial! Sehari saja mengingatnya sudah mengubahku menjadi budak cinta. Bukan sehari, tapi bertahun-tahun hingga tahun berikutnya dan selamanya. Kurasa tidak terlalu buruk. Aku malah menyukainya, segala hal tentang dirinya.

"Dark Knight." Seseorang di ujung sana memanggil code name-ku lewat alat komunikasi. Wolverine.

"The party will begin, ready?"

"As always,Wolv." Aku menyeringai. Mulai mencari posisi nyaman di rooftop gedung yang jaraknya ratusan meter dari target untuk menembak kroco-kroco bersenjata perusak generasi muda yang kini sedang sibuk membongkar muatan dari kapal yang baru saja menambat. Tentu kontainer yang mereka bawa berisi barang haram.

Senapan runduk di tanganku. Dengan jangkaun lebih besar dan akurat, siap mencari tumbal. Aku memicingkan mata, membidik lewat teleskop. Dalam kurun waktu pendek, lima orang lumpuh seketika.

***

Di mana-mana perpeloncoan selalu membawa sengsara. Tidak hanya sewaktu SMP dan SMA saja, sekarang pun untuk mendapatkan status mahasiswa baru harus melalui siksaan mental dari para senior.

Aku harap kejadian sewaktu SMA tidak terulang lagi. Jadi gila aku, kalau aku menemukan sosok dia si Triplek Dingin ada pada salah satu dari deretan senior ini yang seenaknya petantang-petenteng merasa diri mereka berkuasa.

Doaku cuma satu. Berubah jadi debu tak berharga. Jadi debu tak berharga. Debu tak berharga. Supaya mereka tidak memedulikanku dari sekian puluh maba yang memilih jurusan bisnis. Aku bersumpah tidak akan mencari masalah di hari panas terik yang bersejarah ini. Tidak untuk segala masalah yang datang apabila aku nekat berbuat ulah. Aku kapok. Suwir!

Sudah cukup penderitaanku selama tahun-tahun masa paceklik di hidupku. Aku tidak ingin menambah daftar panjang masalah.

Air mata telah lama mengering. Aku berhasil mengendalikan mereka untuk tidak mengalir lagi.

Sisa hidupku hanya kugunakan untuk belajar, main sesekali, dan mulai belajar mengurus toko bunga peninggalan orang tua. Yang berubah, tidak ada lagi acara nonton drakor. Aku menghindari segala macam drama atau film yang menguras emosi. Takut aku tak bisa bangkit lagi.

Pokoknya menghindari segala tentangnya sebisa mungkin.

Sisa tahun pertama di SMA mungkin sangat berat untuk menghindari pergunjingan menyangkut si dia. Namun seiring tahun-tahun berikutnya aku mampu melewatinya tanpa banyak beban karena si dia sudah jarang menjadi bahan gosip dan dilupakan sebagai aib pelengkap memorial sekolah.

Meski sudah berhasil sedikit menutup luka, dia dengan segala hal yang tidak kumengerti, kehadirannya diwakilkan oleh sebuah surat dan sebatang bunga lili putih yang setiap bulan datang tanpa pernah kusentuh.

Sudah kukatakan semua tentangnya hanya membuatku kembali ke masa suram. Kuberikan puluhan surat itu teronggok berdebu begitu saja jika Kak Bella tidak memungutnya. Aku katakan padanya untuk bakar saja. Entah ia mendengarku apa tidak, ia tak mengatakan apa pun. Aku tidak peduli mau diapakan surat-surat itu nantinya oleh Kak Bella.

Nasib sama menimpa Erly. Boneka itu kutinggalkan begitu saja di kamar kediaman Ayah. Benda itu menyimpan bagian si dia. Aku tak berani menyentuhnya. Takut hatiku kembali tak utuh lagi dan semakin hancur.

Bahkan untuk menyebut namanya saja aku tak sanggup. Dia lebih cocok dengan si Triplek Dingin. Aku sepakat untuk mengganti namanya itu semenjak ia meninggalkanku.

Kenapa aku harus mengingatnya terlalu lama? Bikin sesak saja!

"Hei kamu!"

"Hei, cewek pita kuning!"

Uh! Siapa, sih senior ini? Ciko, Ruko atau Ucok? Ish, aku lupa. Menunjuk-nunjuk ke arahku. Tunggu! Kenapa dia menunjuk-nunjukku. 

Aku menunjuk diriku sendiri, setelah mengedarkan kepala ke kanan ke kiri berharap ada maba lain selain aku yang dimaksud, tapi tak ada satu pun yang terindikasi merasa dirinya ditunjuk. Berarti aku, dong.

"Iya, kamu maju sini! Cepat!"

"Salah saya apa?" 

"Karena kamu melamun."

Astogeh! Nasib buruk macam apa setelah ini yang akan menimpaku di tangan senior itu? Kenapa nasib sialku terulang lagi?

Semua gara-gara si Triplek Dingin. Bahkan ketika sosoknya tidak ada, masih saja menyusahkanku! Argh ...!

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang