6. Dia Yang Datang Kembali

79 20 0
                                    

Kegiatanku semakin memadat. Ngampus. Mengurusi pesanan di florist yang membeludak. Aku dan pegawai lain harus bekerja ekstra keras memenuhi pesanan. Apalagi sebulan ini kami sedang menyetok bunga sesuai permintaan salah satu WO terkenal.

Untuk kencan sendiri, sementara aku pending dulu. Mengabaikan teror para gebetan yang silih berganti berebut masuk ke ponselku. Entah itu chat maupun telepon. Terutama dari Kak Ricko yang berulang kali mengajak makan bersama. Terpaksa aku harus menolaknya.

"Kak Farah bunga krisannya ditaruh di mana?!" pekikku.

"Kayaknya Mas Bayu tadi taruh di rak paling atas, deh."

Aku manyun. Sudah tahu aku pendek, pria itu masih saja mengerjaiku dengan menaruh barang-barang ke tempat tinggi. Awas saja kalau pulang. Wajahnya nanti aku ulek.

Aku berjinjit. Menumpukan berat badan pada ujung sepatu. Uh! Masih saja tidak kunjung tercapai. Padahal aku sudah menggunakan seluruh tenaga untuk merenggangkan tangan tinggi-tinggi.

Uh, lelah!

"Butuh bantuan?"

Suara ini? Suara Kak Bayu tidak seberat ini. Ia cenderung cempreng. Punggungku merinding seketika, merasa embusan napas menyentuh pucuk kepala. Tidak mungkin suara ini milik ...!

Seketika aku berbalik. Jantungku memompa keras. Sebuah dada bidang terbalut kemeja hitam menguasai seluruh jarak pandangku. Tidak berjarak. Hidungku bahkan nyaris saja menyentuh kemejanya. Dan wangi musk ini!

Aku mengangkat pandangan. Dia! Mataku mengembun. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku mendorongnya kasar. Berlari keluar florist.

Aku mondar-mandir, menggigit kuku jempol. Dadaku sesak dan akhirnya jebol sudah air bah. Sakit sekali!

Kenapa ia datang hari ini?! Kenapa baru sekarang? Kenapa ia harus datang di saat aku sedang menata hati? Belum puaskah ia menyakitiku?! Aku berjongkok. Bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku melipat lengan lalu menenggelamkan seluruh wajah ke dalam lipatan. Menangis tertahan. Ya Allah!

"Bunda!"

Aku mengangkat wajah. Menemukan Liza berdiri di depanku. Pipinya yang bulat kemerah-merahan sudah basah oleh air mata.

"Kenapa Bunda nangis? Jangan nangis! Nanti Liza juga ikutan nangis! Hiks! ...."

"Sini Liza peluk!" Ia mengalungkan kedua lengannya yang mungil pada leherku. Tangisku semakin mengalir. Namun tak bersuara. Aku balas memeluknya sama eratnya.

Kami baru dua kali ini bertemu, tapi entah mengapa kehadirannya sekarang membawa angin segar, sebuah penghiburan yang sangat manjur.

Mataku terbuka sayu melihat sosok tegap itu berjongkok di depanku. Aku sungguh belum mampu melihat lurus matanya. Tidak sekarang, ketika aku belum sanggup menerima kembali kedatangannya ke dalam hidupku lagi.

"Aku sudah menunggu selama lima tahun lebih dan hal pertama yang kulihat adalah tangismu. Aku memang pantas mendapatkannya dan kamu menghukumku dengan sangat telak Lily Edelia."

***

Dia membuka pintu penumpang bagian depan mobil Lexus-nya, sementara aku membuka bagian belakang. Nyaris bersamaan.

"Di depan kosong," kodenya. Lalu aku akan menurut begitu? Tak sudi.

"Di belakang juga kosong," jawabku acuh tak acuh. Aku membantu Liza masuk terlebih dahulu, barulah aku.

Kulihat ia menutup pintu dan memutar mobil untuk mencapai kursi kemudi. Tak banyak bicara. Mobil pun berjalan.

Benar kata Kak Bella. Bukan waktu yang menyembuhkan, melainkan keberanian memulai. Menunggu selama mungkin waktu, namun tak ada keberanian untuk menghadapi, masalah tidak akan pernah selesai sampai kapan pun.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang