11. Rumah Istana

90 19 0
                                    

"Kita di mana?" Aku bertanya sesaat turun dari boncengan. Di hadapanku terpampang rumah megah. Decakkan kagum meluncur spontan. Tidak kalah dengan istana negara. Wow!

Seharusnya aku tidak mengharapkan jawaban lebih atas pertanyaanku pada Kak Erza. Cowok itu terlalu menyebalkan karena mengabaikanku. Tidakkah ia wajib memberitahu alasan ia membawaku kemari setelah melancarkan aksi pemaksaan dengan cara bengis? Bukan malah menekuk wajah yang seringkali membuatku gerah ingin menyetrikanya.

"Nggak usah norak, cepat ikut." Kak Erza melenggang naik undakan teras depan. Merasa aku tidak mengikutinya, ia berbalik. Rautnya menunjukkan ketidak sukaan.

Begitu banyak pikiran buruk melintas, membuatku tetap kaku di samping motor. Aku pernah membaca sebuah novel action, bahwa rumah mewah sebesar ini, terkadang dijadikan markas mafia mengincar anak-anak dan remaja untuk diambil organ tubuhnya.

Kalau memang benar Kak Erza termasuk dalam komplotan, itu artinya kecurigaanku padanya selama ini cukup beralasan. Ia yang selalu tertangkap basah melakukan pembicaraan mencurigakan. Pun kedatangannya macam dedemit sedang mengawasiku. Mungkin inilah jawaban dari rahasia yang ia miliki. Dan setelah melancarkan pendekatan yang intens, ia berhasil menjebakku. 

Apa masih ada kesempatan untuk kabur?

"Lepasin!!!" teriakku begitu Kak Erza berhasil menarik lenganku ketika aku hendak kabur.

"Kamu pasti mau menjualku, 'kan?!"

Mungkin aku hobi makan banyak, namun energi yang kumiliki tidak mampu menandingi otot laki-laki. Ia dengan mudah memanggulku dan herannya serangan pukulanku tak satu pun membuatnya mengaduh. Heran, kenapa ia senang sekali memanggulku?!

"Apa-apaan kamu Erza?! Turunkan Lily sekarang juga." Seorang wanita yang duduk di kursi roda memperingati ketika Kak Erza membawaku masuk rumah besar ini. Ia menurunkanku dan kesempatan ini aku manfaatkan untuk melarikan diri. Sayangnya, Kak Erza gercep.  Menarik pinggang, mengurungku dalam sebuah dekapan erat.

"Lepas! Lepas! Kakak nggak takut dosa, ya?!"

"Dengar Bunda, bocah ini berpikiran aku mau menjualnya dan ia berusaha untuk kabur."

Wanita itu tertawa merdu. Tawanya mampu membuatku berhenti meronta.

"Hei! Lily kamu sedang tidak diculik. Kakakmu, Bella, juga ada di sini. Kami mengundangmu untuk makan malam bersama."

Kak Bella muncul membawa spatula di tangannya, manatapku. "Oh, kamu sudah sampai ternyata? Sudah salaman belum sama Bunda Alina?"

Aku pun mencium punggung tangannya. Memori otakku memutar kembali kenangan. Ia masih sama cantiknya, hanya saja kerutan di wajahnya bertambah. Namun itu tak mengurangi keanggunannya. Ah! Dia mengingatkanku akan sosok mama.

Pilu melihat ia tak berdaya. Apakah kecelakaan di masa lalu membuatnya harus menggunakan kursi roda?

"Lily masih ingat pada Tante?"

Aku mengangguk. "Bundanya Kakak Ganteng," jawabku.

"Mulai sekarang panggil aku Bunda. Seperti kakakmu yang memanggilku Bunda."

                            ***

Demi saus tar-tar! Tidak ada yang lebih memalukan ketimbang tingkah over acting-ku tadi. Aku merasa wajahku mengelupas hingga tidak memiliki muka untuk bertatatapan dengan penghuni rumah ini lagi.

"Kamu akan mati kalau wajahmu dikubur dalam bantal seperti itu."

Itu suara Kak Erza! Kepalaku terangkat dari bantal sofa di pangkuan. Ia datang membawa nampan berisi dua gelas sirup dan cookies dalam toples. Setelah meletakkannya pada meja kecil, ia duduk pada kursi rotan yang kosong.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang