32. Penyesalan

70 16 0
                                    

Klakson-klakson merongrong selaras melintasnya mobil yang tengah aku kemudikan bak pembalap kesetanan berambisi sebuah trofi. Bedanya yang kukejar bukan trofi, melainkan sebuah kabar buruk yang menjadi momok menakutkan, menghantuiku setiap waktu dan kini benar-benar realistis. Sampai sekarang siksaannya merajam ke ulu dengan telak.

Bermula dari koordinat posisi Lily menghilang dari pantauan dan sistem tracking menunjukkan posisi terakhir di rumah Vina. Aku langsung menghubungi orang-orang Ayah yang berjaga. Salah satunya mengonfirmasi bahwa benar Lily berada di rumah Vina. Mereka hanya mengawasi dari luar. Kabar itu tak cukup melegakan, aku meminta mereka untuk segera mengecek ke dalam.

Ban berdecit tepat di depan bangunan minimalis dua lantai. Membabi buta, membawa kedua kaki ke dalam rumah. Aku masuk ke kamar Vina. Lebih tepatnya membanting pintu ketimbang membukanya. Kemarahanku nyaris merusak engsel.

Kedatanganku mencipta kesiap bagi empat pasang mata di ruangan ini. Dua di antaranya dari Vina dan ibunya dan sisanya dari anak buah ayahku.

"Tolong katakan semuanya." Tidak mudah mengontrol suara tetap terdengar sewajarnya sementara tangan menginginkan kehancuran. Tidak. Aku tidak ingin menambah ketakutan mereka dengan emosiku.

Aku mendekati keduanya yang duduk kaku di ranjang. Penampilan mereka kacau, pipi belum kering sudah basah lagi. Aku terenyuh. Melihat mereka, marahku hilang separuh. Setidaknya aku bersyukur Alex tidak menyakiti mereka.

Aku menyuruh Aldi pergi ke dapur untuk membuatkan dua cangkir teh. Vina dan ibunya meneguknya pelan. Aku menunggu sabar sampai mereka terlihat sedikit membaik. 

"Ada dua laki-laki. Satunya tinggi, besar dan satunya terlihat sepantaran denganmu." Tante Jihan menyesap tehnya sebentar. Bibirnya menyisakan getar. Pun tangan. Seorang Alexㅡsepengetahuankuㅡselalu meninggalkan trauma pada setiap korban, seperti dua wanita lemah ini yang bahkan tidak memiliki pertahanan diri.

"Awalnya mereka mengetuk pintu hanya untuk menanyakan sebuah alamat. Tapi tiba-tiba, pria bertubuh besar menodongkan pisau. Tante pikir mereka mau merampok. Sampai mengikat Tante di kamar ini. Begitu juga dengan Vina yang baru saja pulang dari sekolah. Tetapi mereka bukan perampok. Mereka hanya menginginkan Lily lewat kami."

Vina menangis. "Pria yang bernama Alex memaksaku menelepon Lily. Ia menyuruhku untuk meminta Lily datang. Tentunya dengan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, kalau tidak Mamaku ... Mamaku akan dibunuhnya! Hiks!" Tangisnya makin memilukan. "Lily datang. Dan pria itu membawanya pergi! Maaf, Kak! Aku nggak bisa nyelamatin Lily!"

Bola mataku merotasi ke atas, menatap langit-langit. Menghalau cairan asin yang mau turun. Lidah menekan pipi dalam. Mengais ketegaran yang entah bersembunyi di mana.

"Tidak apa-apa." Perkataanku ini bukan semata-mata untuk Vina. Melainkan untuk diriku sendiri yang kusebut sebagai penghiburan yang gagal.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Kak? Kenapa Alex menginginkan Lily?"

"Vina! Kamu tidak berhak tahu." Aura tidak bersahabat menguar pada tiap kata yang kulontarkan. Mulutnya langsung mengatup. Sungkan.

Aku menyedot udara. Berusaha mempertahankan sisa akal sehat. "Istirahatlah, aku menjamin keselamatan kalian pasca kejadian ini sampai keadaan kembali stabil sedia kala."

Aku berbalik. Mendadak memancang, seolah kakiku tumbuh akar hingga menembus jauh ke inti bumi, mendengar kelanjutan bibir Vina menyuarakan,

"Apa ... apa Lily akan baik-baik saja? Bahkan dia hampir menusuk pisaunya pada rahangku. Aku nggak bisa bayangin nasib Lily ...."

"Aku sendiri yang akan memastikan ia baik-baik saja." Aku nyaris menertawakan diri sendiri. Bisa-bisanya menjanjikan sesuatu yang bahkan aku tak yakin apa bisa memastikannya.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang