19. Konflik

57 17 0
                                    

Aku mengaduk bubur ayam tanpa minat. Seperti yang Kak Erza bilang. Waktunya benar-benar tercurahkan sepenuhnya untuk Liza. Berangkat kerja pagi-pagi sekali. Sehingga jarang sekarang mengantarku ke kampus dan aku harus puas diantar sopir.

Siangnya ia terlalu sibuk, hingga durasi menelepon hanya hitungan menit saja. Malamnya ia pulang larut, tak jarang aku tertidur lebih awal sebelum kepulangannya. Karena bawaan bayi, aku mudah lelah dan mengantuk.

Begitu terus rutinitas keesokan harinya hingga seminggu ini. Praktis aku lebih banyak bertemu dengannya di pagi hari saja dan waktunya pendek.

Aku cuma bisa menghela napas banyak-banyak dan menekan keegoisanku untuk mengalah pada anak kecil. Liza butuh kasih sayang lebih.

"Dari tadi buburnya diaduk mulu. Jijay, kayak muntahan Thanos, tuh!"

Aku mengerjap memandang bubur ayamku tak berbentuk. Aku menyusutkan hidung. Tiba-tiba mual melihatnya. Aku mendorong mangkoknya jauh-jauh.

"Lo kenapa? Berantem sama Kak Erza?" tanya Vina.

Aku menggeleng. Mencebik. "Lebih parah dari itu. Dia sibuk banget dan waktunya lebih banyak dihabiskan untuk Liza."

"Otomatis Kak Erza sering bertemu Diana, dong?"

Kenapa aku tidak berpikiran ke sana? Untuk apa aku curiga. Diana sudah move on dari Kak Erza. Dia bilang sendiri padaku. Jadi, aku tak usah khawatir berlebih, Diana tidak akan merebut Kak Erza dariku.

"Emang kenapa? Diana, 'kan ibundanya Liza, jadi sudah sepantasnya ia sering bertemu Kak Erza. Lagian Diana sudah tobat."

"Lo nggak cemburu?"

"Gak usah manas-manasin, deh Vin. Gue sedang galau, jadi jangan menambah beban gue."

"Kita jalan-jalan aja, yuk. Nonton bioskop biar galau lo ilang."

Boleh juga ide, Vina.

Akhirnya kami putuskan untuk pergi ke mal dengan menggunakan mobil Vina dan ia yang menyetir. Meski harus berdebat panjang dengan bodyguard yang melarangku satu mobil dengan Vina demi keselamatan. Tapi akhirnya ia luluh setelah aku mendesaknya.

Kami berakhir nonton. Cuci mata. Belanja menghabiskan uang Kak Erza memakai black card.

Aku bukan seorang pecandu shopping yang setiap waktu menghabiskan uang untuk foya-foya. Tapi hari ini pengecualian, aku sedang ingin senang-senang tanpa memikirkan beban.

Kami lelah dan akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan kaki dan mengisi perut. Kantong-kantong berjubelan di kaki kami. Aku sangat puas dan bebanku hilang.

Ketika aku melempar pandangan, aku tak sengaja melihat tiga sosok amat kukenali. Kak Erza, Diana dan Liza. Mereka berjalan saling bergandengan tangan.

Lihatlah mereka seperti keluarga bahagia. Tak ada beban di wajah Kak Erza. Seolah ia menikmati kebersamaan mereka.

Kenapa sesak ini mampir?

"Samperin, tuh!"

Suasana hatiku memburuk, membuatku memilih menggeleng. Terlalu enggan untuk berurusan dengan mereka. Tapi emang dasar Vina sahabat laknat, tidak paham perasaanku, ia seenaknya melambaikan tangan dan memanggil mereka.

Wajahku kesal luar biasa, namun Vina tak mau peduli. 

"Kamu tidak bilang mau pergi ke sini," ucap Kak Erza. Parasnya nggak sedap dipandang.

"Aku cuma jalan-jalan, doang sebentar untuk apa bilang segala."

"Tapi setidaknya kabari aku."

"Yakin Kakak akan angkat telepon aku? Kakak terlalu sibuk, aku takut cuma mengganggu kesibukan Kakak," ucapku dingin lebih terkesan menyindir daripada tidak enak hati.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang