23. Titik Akhir

80 19 6
                                    

Aku bosan. Beberapa hari mendekam di kamar hanya beraktivitas tidur, makan, duduk dan mendumal dalam hati. Kak Erza tidak membolehkanku pulang cepat padahal aku sudah bilang bahwa aku sudah sehat. Sudah mampu berdiri sendiri. Sayangnya, Kak Erza tak percaya dan penyakit protektifnya kambuh lagi.

"Tidak Lily. Sekali tidak tetap tidak."

Bibirku menekuk ke bawah. Menampilkan mata puppy eyes dan sebisa mungkin imut plus nelangsa. "Cuma keluar sebentar. Lily sudah tidak tahan lagi di kamar ini."

"Oke." Ia mendesah kalah. "Sekalian kita ke kamar rawat Liza, hari ini dia pulang."

"Kalau begitu, ayo!"

Kak Erza membantuku naik ke kursi roda. Ia mendorongku menuju kamar rawat Liza. Punggungku menegang, di sana ada Alex dan juga Diana di lorong. Entah sedang berbincang apa.

Menyadari kehadiran kami, Alex menyeringai. "Hai, Lily. Nice to meet you again."

Jemari di pangkuan berkeringat dingin. Melihatnya, trauma buruk mencuat, mengusik ketakutan.

Kurasakan usapan di kepalaku, mendongak aku sadar bahwa aku tak perlu lagi takut, sebab kini ada Kak Erza yang siap melindungiku.

Alex terkekeh. "Kamu masih takut padaku, ya? Tenang Lily aku tidak akan menculikmu lagi."

"Sedang apa kamu di sini?" Kak Erza menguasai situasi.

"Menjemput anakku."

"Aku lebih baik pulang dengan taksi. Tidak sudi satu mobil denganmu." Kak Diana tiba-tiba menyerobot dingin dan kasar.

Aku meringis. Kebencian menggumpal nyata di wajahnya. Aku mengerti betul bahwa tidak mudah bagi Diana berhadapan lagi dengan orang yang telah menghancurkan masa depannya di masa lalu.

"Aku memaksa," geram Alex.

"Za, bisakah kamu usir dia dari hadapanku, kalau perlu selamanya dari hidupku? Aku muak melihatnya!"

"Sudah kubilang berikan aku kesempatan untuk berubah! Aku akan perbaiki semuanya." Alex tak kalah tajamnya setiap kata yang terlontar.

"Kesalahan fatal selamanya tidak akan berubah meski kamu menebusnya dengan seribu kebaikan!"

Alex hendak mengatakan sesuatu, namun dipotong kilat Kak Erza. "Biar sopirku yang mengantar Liza. Kamu Lex, selalu ada kesempatan untuk berubah, tapi bersabarlah. Memaksa justru membuat Diana bertambah membencimu."

Pria itu menghela gusar. "Oke, aku tidak memaksa, tapi izinkan aku memeluk Liza sebentar." Sebelum bisa dicegah, Alex masuk ke kamar sebentar. Lantas pergi dari lingkaran ketegangan ini.

"Bagaimana bisa kamu mengizinkan orang jahat seperti dia mendekati Liza? Apa kamu nggak berpikir dia akan menyakiti kami?!" Diana naik pitam.

"Di, Alex ingin berubah demi Liza. Dia ingin menjadi baik. Sebagai orang tua Liza, kamu harusnya mendukung kebaikan anak. Terlepas dari masa lalunya yang kelam, setiap orang punya hak yang sama memilih ke mana ia melangkah di masa depan."

"Kamu bilang begitu karena kamu nggak ngerasain apa yang kurasakan. Kamu sengaja menghadirkan dia supaya aku bisa berpaling darimu, 'kan?!"

"Aku semata-mata menginginkan kebahagiaan Liza."

"Kak!" Aku yang sejak tadi geming tak tahan buka mulut. "Kak Di, masih mencintai Kak Erza?"

Ia tersentak. Aku pun sama tak menduga akan berterus terang begini. Kapan lagi kalau bukan sekarang waktu yang tepat untuk menyelesaikan perkara hati agar ke depan tidak lagi ada prasangka cemburu.

"Iya," jawabnya dingin.

"Aku minta maaf karena aku, hidup Kakak hancur. Maaf karena aku hadir di kehidupan Kak Erza, kamu harus merasakan sakitnya patah hati. Maaf untuk segalanya. Tapi Kak, aku mencintai Kak Erza. Aku tidak akan membiarkan wanita lain merebut hati suamiku. Dia sudah jadi milikku. Sudah sepantasnya aku egois."

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang