16. Menikah

106 21 1
                                    

Akad nikah berlangsung pagi tadi. Begitu sakral hingga tangis haru mewarnai. Kata sah membahana dan doa dipanjatkan menyentuh langit. Ini adalah awal kebahagiaan sejati Kak Bella, bersanding dengan Kak Alif, orang yang sangat ia cintai.

Meskipun di perjalanan nanti tidak akan terhindarkan dari namanya ombak ganas dan badai; menghantam bahtera mereka tanpa ampun, menggulungnya tak henti-henti. Aku yakin Kak Alif mampu menjadi nahkoda yang baik dalam navigasi dan mereka bisa melewati setiap ujian yang disodorkan Tuhan sampai akhir.

Mungkin aku bahagia melihat kakakku bahagia, tapi tidak ketika Diana tampil memukau dengan balutan kebaya dan rok mega mendung, sama persis yang kupakai sebab kami berperan menjadi pagar ayu.

Pujian banyak berdatangan menyapaku dari keluarga, saudara maupun teman dekat kedua mempelai. Mereka bilang aku tak kalah cantik dengan mempelai wanita. Tapi semua itu tidak membuatku lebih baik, jika orang yang kusukai tidak menganggapku cantik.

Sepanjang acara, Diana dan Kak Erza selalu menempel, bak sepasang kekasih. Berbagi tawa dan kemesraan. Tak jarang senyum tulusnya menyempil. Kalau memang masih suka, mengapa harus putus?! Kan aku nggak usah berharap lebih seperti ini.

Belum lagi sikap Kak Erza yang menjaga jarak. Makin irit saja ia bicara. Setidaknya aku tak perlu repot berusaha keras untuk menjauh, ia sudah lebih dulu melakukannya. Lebih sadis malah.

Hiks! Aku merasa kalah duluan sebelum berperang. Menyedihkan.

Ingin sekali semuanya berakhir. Mengganti pakaian dengan kaos longgar dan celana pendek, meringkuk bak kepompong lalu berhibernasi sampai fajar menyingsing. Tapi, aku tidak setega itu membuat hancur hati Kak Bella di hari bersejarahnya ini dengan lebih mengutamakan ego.

Aku akan tetap bertahan sampai akhir. Meski aku tidak menjamin wajahku akan selalu tampil memukau dengan senyum. Aku asli cemberut. Mojok sejak tadi kayak upil. Sengaja menyendiri. Toh, tidak ada yang peduli padaku.

Presensi Kak Erza membawa pesona yang sulit tersingkirkan. Berjalan konstan ke arahku. Begitu gagah, efek kemeja batik yang ia pakai. Biru gelap. Sama dengan corak rok yang kupakai.

"Kamu di sini. Aku mencarimu."

"Ada apa mencariku?" Aku asal bicara tanpa sadar lantaran fokusku terisap hanya untuk mengagumi betapa baiknya Allah menciptakan makhluk satu ini.

"Sesi foto. Semua orang menunggumu." Ia menjulurkan tangan besarnya. Aku menatapnya, begitu menjanjikan.

Kembali menaikkan pandangan, aku jatuh pada matanya yang kali ini bersinar. Tak semuram biasa. "Kakak tidak marah?"

"Untuk apa aku marah?"

"Biasanya Kakak marah kalau aku membuat orang menunggu lama dan akan mengancamku setelahnya."

"Apa kamu mendengar aku mengancammu?"

Aku menggeleng.

"Lalu apa yang kamu permasalahkan?"

Apa yang aku permasalahkan? Nggak ada, sih. Tidak ingin membuat Kak Erza menunggu lama, terlebih yang lain, aku meraih tangannya. Kami berjalan beriringan. Untuk pertama kali, aku takjub pada tangannya yang erat menggenggam tanganku. Tanpa paksaan, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Dia berbeda.

Bahkan saat fotografer memberi arahan untuk lebih merapat. Ia tidak membiarkanku terlepas begitu saja. Malah makin erat membawaku ke dalam hangatnya rengkuhan tangannya. Embusan napas menyentuh ubun kepala ketika ia menggumam dan aku bisa mendengar dengan baik.

"Tersenyum, Lily. Kamu akan terlihat lebih cantik di depan kamera."

Aku tidak salah dengar, 'kan? Jantungku makin dibuat menggila. Takut suaranya bisa didengar Kak Erza mengingat kedekatan kami yang tak berjarak.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang