3. Tawuran

147 28 1
                                    

"Ayang Lily!"

Aku mempercepat langkah. Pura-pura tuli. Pura-pura tidak melihat. Sayangnya ia berhasil menyusulku.

Aku menghela napas. Aku tahu aku cantik badai, banyak cowok yang naksir, tapi kok, ya yang getol mengejar aku cuma titisan upil jerapah ini, sih! Yang sekarang nyengir seolah nggak punya dosa apa pun. Bayu Permana si spesies langka antah berantah.

"Ada apa?" ketusku.

"Ayang mau ke mana?"

"Lapangan."

Ia berkacak pinggang. "Pasti si Ketos kejam itu yang menyuruh."

"Bicaranya nanti saja, gue harus segera ke sana."

Aku berlari. Tak ingin dikejar dan tak ingin terlambat kalau tak ingin kena hukuman. Cowok itu kalau kasih hukuman nggak kira-kira. Di pertengahan jalan, sialnya kakiku kena musibah. Tersandung batu, menabrak tong sampah. Jatuh berguling. Lututku berdarah. Terluka tidak seberapa, malunya yang parah.

Aku bangkit. Membersihkan rambutku dari sampah plastik. Berusaha mengabaikan tawa menggelegar dan cemooh di sekitar. Lantas memungut sampah berserakan ke tempat semula.

"Lihat babunya Erza kasian banget nasibnya. Bego banget, dia!"

Aku mencebik, bukan karena hinaan mereka, tapi botol isotonik pesanan Kak Erza dan tiga temannya sudah tak layak konsumsi.

Bagaimana ini? Apa aku harus kembali lagi ke kantin? Atau melapor dulu pada Kak Erza. Tapi jika aku tak membawa apa-apa, bukannya dia akan semakin marah?

Bodo, ah! Aku berlari kembali ke kantin membeli empat botol minuman isotonik. Secepat kilat menuju ke lapangan. Seraya berpegangan pada pagar kawat, aku ngos-ngosan dan jantung bertalu kencang, menyakiti dada. Gila! Bagaimana aku nggak kehilangan berat badan, jika setiap hari harus olahraga sprint mulu?

Dengan tertatih, aku mendekati mereka. "Kak Er!" Aku mengacungkan botol minuman, tak sanggup berkata-kata.

Ia berhenti mengelap wajah dengan handuk. Memandangku sengit. "Kamu telat."

"Aku tadi ...."

Belum selesai aku berkata, ia memotong, "Alasan. Pergi, ambilkan aku ponsel di kelas."

"Beri aku ... istirahat sebentar."

"Atau kamu memang ingin hukuman lebih berat?"

"Za!" Kak Barga mendekat. Ia menjumput ujung rambutku, menunjukan permen karet menempelinya. Bibirku mencebik. Aku ingin menangis.

"Kamu sudah keterlaluan. Apa kamu tidak kasihan melihat Lily sekacau ini dan terluka?"

"Dia babuku. Terserah aku mau melakukan apa pun terhadapnya. Termasuk menyiksanya kalau perlu. Jadi, bukan urusanmu ikut campur."

Seperti meminta perlindungan, aku bergeser mendekati Kak Barga. Tanpa sadar satu tetes embun jatuh dari mata, aku menghapusnya cepat.

Kak Erza melihatku. Rahangnya menggeretak. "Brengsek." Lalu ia pergi.

Kak Barga menyentuh pundakku. "Kamu menangis?"

Aku geming. Tidak tahu mengapa aku mudah sekali menangis hanya karena sikap kejam Kak Erza. Padahal selama ini aku ahli menyembunyikan perasaan sedih dengan tampil baik-baik saja di depan siapa pun dan sesakit apa pun perlakuan yang kuterima.

"Di sini dulu, ya. Aku ambil obat di UKS."

Aku mengangguk. Meletakkan botol yang sejak tadi kupeluk ke bangku dan aku duduk. Menenangkan perasaan.

"Lily." Aku melihat minuman isotonik terjulur. Pandanganku terangkat, Kak Reza yang memberikannya. "Minumlah."

"Terima kasih." Aku menenggaknya. Perasaanku lebih baik sekarang.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang