25. Dari Hati Ke Hati

90 20 0
                                    

Tidak ingin memperuncing perselisihan, aku memutuskan pulang satu mobil dengan Kak Barga. Tawuran antar pelajar di depan sana, memaksanya mencari jalan alternatif lain. Ia cukup mahir menghindari tawuran yang terbilang mengerikan.

Bukan hanya sekali ini saja, melainkan beberapa hari belakangan jalan terlalu rawan untuk dilewati. Aku waswas setiap pulang sekolah. Untung pak sopir bisa mencari jalan yang lebih aman.

"Mereka nggak ada kerjaan lain apa sampai harus tawuran begitu? Heran, kewajiban seorang pelajar, 'kan belajar, bukan baku hantam nggak jelas begitu!" keluhku serta merta.

Kak Barga terkekeh. "Mereka hanya korban dari orang-orang yang memiliki kepentingan nggak baik."

Mataku membulat. "Iya, kah? Apa ada hubungannya dengan politik?"

"Masalah politik bukan faktor utama pemicunya. Hanya sebagian kecil dampak pengaruhnya."

"Kalau bukan politik, terus apa?" tanyaku sembari mengubah posisi duduk menyamping untuk melihat Kak Barga.

"Itu yang sedang Erza selidiki sekarang. Beberapa hari ini ia sibuk karena harus menemui pemimpin geng-geng di sekolah lain yang terindikasi ikut tawuran dan juga menemui beberapa preman kampung yang juga ikut terlibat."

"Dia tidak akan repot begini, jika siswa dari SMA kita nggak terlibat. Nyatanya dua siswa di antaranya itu kelas sebelas, sempat Erza hajar hari ini sampai babak belur karena ketahuan memprovokasi siswa lain untuk ikut tawuran. Mereka mengaku pemicunya cuma masalah pribadi. Geng sekolah Sriwijaya menantang duel karena kalah taruhan balapan motor, mereka nggak terima dan beginilah jadinya merembet ke sekolah lain yang nggak tahu apa-apa."

"Tapi Erza nggak sepenuhnya mempercayai alasan mereka. Baginya terlalu aneh kalo cuma masalah kecil begitu bisa menggerakkan kericuhan sebesar ini."

"Jadi ada pihak ketiga yang sengaja mengadu domba atau memang sengaja membuat kerusuhan itu?" simpulku tak sepenuhnya yakin.

"Bisa jadi. Erza tidak mengatakan apa pun. Meski begitu, aku yakin dia tahu lebih banyak situasi yang terjadi."

"Apa ada hubungannya juga dengan Kak Diana?" tanyaku agak sangsi. Jemari tak luput saling meremas kalau sudah begini.

Ia menoleh. "Kenapa bertanya seperti itu? Ah ...." Matanya mengerling jail. "Cemburu pasti."

Aku gelagapan. Ia menebak dengan benar. Sudah kepalang tanggung mau bagaimana lagi. "Jelaslah. Siapa yang tidak cemburu, cowok yang aku suka sering pergi sama cewek lain," gerutuku.

Kak Barga terbahak. "Mulai posesif, heh?"

Bibirku mengerucut. Memukul lengannya sekali. Ia meminta ampun dan aku berhenti.

"Kamu nggak perlu cemas, Ly. Dia tidak ada hubungannya sama sekali. Dia ikut, bukan Erza yang mengajak, melainkan Diana sendiri yang ingin. Erza sudah melarang. Tapi Diana kekeh ingin ikut. Beralasan tidak ingin berdiam diri saat Erza ada apa-apa katanya." Ia berkata selagi mobil menunggu lampu hijau.

Aku mencebik. "Berarti Diana tahu segalanya. Sementara denganku, ia merahasiakannya. Jangankan, dikasih tahu, aku yang sedang sakit saja, malah dibentaknya."

"Kalian sedang bertengkar, ya?"

Aku menceritakan perlakuan Kak Erza saat mobil kembali bergerak.

"Bukan Kakak ingin membela Erza, ya. Kakak hanya ingin bilang kalau emosinya benar-benar nggak stabil tadi. Ia baru saja menghajar anak kelas sebelas membabi buta. Beruntung aku mencegahnya sebelum mereka sekarat. Lalu tiba-tiba mendapat kabar kalau kamu pingsan terkena bola. Aku sampai ngeri melihat wajahnya yang berubah semakin menakutkan. Kemudian kalian bertengkar, tidak aneh bila emosinya makin tersulut.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang