28. Teror

66 18 0
                                    


"Maafin aku Lily."

Aku mendongak bingung. Menatap cermin dan di sanalah terpantul wajah Diana. Aku menyamping untuk melihat eksperinya memahat penyesalan. Lantas menyudahi membersihkan tangan. Menutup keran dan mengibaskan tangan.

"Barangkali kamu mengerti, sulit merelakan orang yang aku cintai bersama gadis lain. Tapi bagaimanapun juga Erza butuh  kebahagiaannya sendiri dan ia menemukannya ketika kalian bersama. Akan terlihat egois jika aku tetap memaksakan ekspektasiku kepadanya."

Ia menghela napas. Membersihkan buih sabun sampai benar-benar hilang. Ia menutup keran lalu menatapku. "Maaf untuk sikapku yang bermusuhan, ya. Kamu tahu sendirikan setiap orang yang merasa terancam secara alami akan mempertahankan apa yang dia miliki."

Aku mengangguk. Menyungging senyum. "Maafkan aku juga yang sudah bersikap sama. Aku pernah menganggapmu sebagai pengganggu dan berpikir kamu ini ular manipulatif yang bikin aku cemburu berat."

Bukannya marah, ia malah terkikik. "Aku sadar sikapku memang menyebalkan. Aku salut padamu bisa sabar menghadapiku. Gadis lain mungkin sudah menamparku begitu tahu aku mengibarkan bendera perang. Karena sifatmu itulah, Erza menaruh perasaan lebih padamu."

"Kak Diana salah menilaiku. Aku bahkan sempat berpikir mengajak baku hantam kalau tidak ingat Kak Erza akan membenciku jika melakukannya."

Tidak ada senyum licik dan lain sebagainya yang palsu. Melainkan senyumnya yang tulus dan aku lega tidak memiliki saingan lagi.

"Jadi, kita bisa berteman sekarang?" Tawarannya begitu menggiurkan. Tidak mungkin aku menolaknya.

"Kita berteman sekarang, Kak."

Ia merangkulku keluar dari kamar mandi. "Makasih, ya. Aku janji tidak akan bersikap menyebalkan lagi dan tidak akan jadi penganggu hubungan kalian karena aku tahu posisi aku sekarang tidaklah lebih dari seorang sahabat."

"Makasih, Kak atas pengertiannya." Senyumku kian lebar saja, dan itu tak bertahan lama karena getaran di saku rok.

Aku menemukan panggilan asing. Tidak ada perasaan curiga sedikit pun saat mengangkatnya. Namun sapaan dari seberang mencipta kerutan di dahi. Suaranya juga asing.

"Siapa, ya?"

"Kita belum lama ini bertemu, tapi kenapa sudah melupakan suaraku, hem?"

Makin dalam saja kerutannya. Aku menggaruk pelipis menebak-nebak. "Oh, sales panci, ya? Atau mau nawarin peninggi badan? Maaf, Mas saya nggak minat. Atau jangan-jangan Anda penipu?!"

Di seberang pria itu menggeram. "Aku Alex, Sayang!"

Alex!!

"Astaghfirullah. Naudzubillah min zalik!" Ponselku tiba-tiba melucut. Eh! Sudah seperti pemain sirkus saja. Untung refleksku bagus. Sehingga ponselku tidak jatuh. Aku mengelus dada. Bersyukur.

Aku melirik ke arah Diana yang menatapku risau. Aku nyengir. Sambil menutup speaker, aku berkata pada Kak Diana untuk pamit mengangkat telepon dulu. Ia membalas dengan anggukan.

"Dari mana kamu tahu kontakku!" Aku berbisik pada ponsel begitu sampai di tempat yang sepi.

"Ada deh," katanya santai.

"Mau apa kamu sebenarnya?" Nada suaraku sedikit bergetar. Aku berusaha menutupi ketakutan. Ingatan siapa yang sedang meneleponku sekarang, menyisakan banyak kekhawatiran.

"Jangan menyalahkanku, bila aku mencari nomormu, aku melakukannya karena kamu nggak meneleponku juga. Padahal aku menunggumu dengan sabar, lho."

"Memangnya apa yang kamu harapkan dariku?"

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang