Extra Part 1

86 19 1
                                    

"Jab! Jab! Hook! Good, Ka!"

Kak Erza dan Arkana sedang berlatih tinju di kebun belakang rumah. Kami tak lagi tinggal di penthouse. Semenjak kelahiran Radi, Kak Erza memutuskan membeli rumah yang banyak halamannya, supaya anak-anak kami bisa leluasa menghabiskan masa kanak-kanak mereka dengan bermain sepuasnya.

Aku membawakan mereka minuman dan camilan ringan. Kulihat anakku yang kedua Edelwise, di sisi lain sedang memandang langit di samping tanaman kesayangannya. Melaksanakan ritual pemanggilan hujan. Astaga! Maksudku berdoa khusyuk meminta hujan pada Tuhan.

"Ya Allah! Edel minta hujan, Ya Allah! Supaya tanaman Edel cepet berbuah."

Sudah aku katakan berulang kali sampai capek rasanya. Sebanyak apa pun ia berdoa dan menyirami tanamannya setiap hari, tanamannya tidak akan berbuah, apabila yang dia tanam adalah daun pisang, bukan tunasnya.

Terserah anakku itulah. Suka-suka dia. Bundanya sudah lelah jiwa raga.

Sementara anakku yang bontot, tengah melakukan eksperimen. Usianya baru saja memasuki empat tahun, tapi pikirannya berkembang amat pesat. Dia sedang menggali tanah dengan sekop. Mencari cacing untuk membuktikan perkataan ayahnya benar atau tidak, bahwa cacing bernapas dengan kulit. Aku cuma melihatnya dengan menghela napas.

Tak terasa, waktu cepat berlalu. Tahu-tahu anakku yang sulung sudah beranjak tujuh tahun, yang kedua lima dan yang terakhir empat tahun. Dan satu lagi di dalam perut enam bulan. Hehe ....

Astaga! Sebenarnya aku malu untuk mengatakan bahwa kami memang sejak awal berniat memproduksi banyak anak.

Sebenarnya melihat tingkah Edelwise dan Radi yang selalu aneh, membuatku cemas jika memiliki anak lagi bakalan seaneh mereka. Aku sampaikan kecemasanku itu pada Kak Erza. Tapi Kak Erza selalu meyakinkanku bahwa tidak apa-apa dan selalu mendesakku mengikuti keinginannya.

Jika dipikir-pikir mengingat sifatku dulu yang aneh, barangkali menurun pada anak-anakku sekarang. Mau bagaimana lagi, deh. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Yah, meski begitu aku bersyukur. Satu dari ketiga anakku yang paling sulung, lebih normal, tapi ya ampun! Dia amat pendiam dan agak dingin mengikuti jejak sifat bapaknya.

Entah kekurangan kelebihan di masing-masing anakku, aku sebagai orang tua sangat-sangat mencintainya melebihi hidupku. Tidak ada namanya pilih kasih karena setiap cinta yang aku dan Kak Erza bagi sama porsinya.

"Ayah, Arkana, yuk sarapan dulu," ajakku. 

Mereka menghentikan kegiatan olahraga. Melepas sarung tinju dan mendekatiku demi menerima uluran minuman dariku. Kurasakan pipiku hangat, Kak Erza baru saja memberiku sun dan bilang. "Makasih." Walau sudah sering mendapat kecupan, aku tetap saja tidak bisa tidak merona.

Pernikahan kami sudah bertahan delapan tahun. Sudah memiliki anak tiga, mau empat dan sikapnya masih saja sama, hangat pada keluarga. Aku menjadi sangat yakin cintanya tidak pernah berubah dan selalu mencintaiku lebih dan lebih setiap harinya.

"Edel, berdoanya lanjutkan nanti, ya kita sarapan dulu." Ia menurut. Twin tail-nya bergoyang saat ia berlari duluan masuk ke dalam.

"Jangan lupa cuci tangan dulu!" ingatku.

Tiba-tiba Radi mendekat sebelum aku memanggilnya. Tangannya terulur, sebuah benda hitam berada di telapak tangannya yang kotor tanah.

"Bunda! Bunda! Liat Ladi dapet benda asing!" Ia jingkrak-jingkrak senang. Aku melihatnya begitu juga Kak Erza yang tertarik.

"Itu, batu Radi." Kak Erza mengangkat tubuh Radi. "Ikut Ayah saja, yuk mandi bareng."

"Tapi, Ayah siapa tahu ini upil dinosaulus pulba."

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang