19. Erza Regawangsa 1

89 17 0
                                    

Usai menjalankan ibadah subuh, aku meninggalkan rumah tanpa pamit. Bunda atau siapa pun tidak akan bertanya macam-macam. Mereka mengerti betul sifatku, dan tidak pernah sekali pun mengekang. Dalam artian memberi kebebasan sebebas-bebasnya.

Namun bukan berarti mereka tidak peduli. Justru mereka sangat peduli. Mereka hanya tidak ingin membuatku merasa tidak nyaman tinggal bersama mereka.

Memastikanku tidak kekurangan, menasihati banyak pengalaman hidup dan mencurahkan kasih sayang sama porsinya dengan dua anak kandung Bunda Alina dan Ayah Davian, merupakan sebagian besar kepedulian yang mereka beri di antara kepedulian kecil lainnya.

Sejauh ini aku tidak merasa dianak tirikanㅡmeski faktanya aku bukan anak tiri, melainkan anak angkat. Setidaknya aku bersyukur hidupku tidak jadi terkatung-katung sendirian di luar sana tanpa banyak harapan.

Bayangkan hidup tanpa siapa punㅡwalau aku yakin aku bisa menjalaninya dengan usaha kerasㅡtentu aku tidak akan bisa tumbuh sebaik ini tanpa merasakan curahan kasih sayang sebesar ini dari keluarga Effor.

Aku memacu CBR kesayanganku, berlomba dengan sejuknya udara pagi. Sebenarnya, aku seorang yang bertanggung jawab pada apa pun yang aku jalani, tetapi kali ini bolos terlalu sayang untuk dilewatkan. Aku harus melanggar prinsipku itu untuk menjernihkan pikiran yang kusut. Selain itu, aku juga ingin tahu sejauh mana kasus penyergapan semalam.

Tatapan aneh dilayangkan padaku ketika aku memasuki markas besar. Belum banyak orang yang datang. Tentu saja ini terlalu pagi untuk berangkat kerja. Di antara mereka berada di divisi yang berbeda, tidak terlalu familier di mataku, tapi aku jamin mereka mengenalku baik sebagai agen termuda yang direkrut di masa itu.

Dengan mengantongi tangan pada celana, aku mengunjungi lapangan tembak setelah menempelkan kartu ID dan sidik jari. Tidak ada seorang pun di dalam. Bagus. Aku langsung memasang penutup telinga dan kacamata, memilih pistol buatan Pindad lantas memasukkan magasin dengan cepat.

Kemudian menempatkan posisi. Dengan memasang kuda-kuda dan posisi lengan yang benar, aku membidik papan target di tengah-tengah lingkaran. Menarik pelatuk, peluru menembus tepat di tengah. Aku butuh berbulan-bulan lamanya sampai benar-benar bisa melubangi titik merah tersebut.

Entah sudah berapa kali mengganti magasin, menghabiskan berapa banyak peluru dan lamanya waktu. Aku tidak terlalu peduli. Yang kupedulikan hanyalah sedikit ketenangan yang kudapatkan.

Kurasakan tepukan ringan di bahu. Refleks, moncong pistol terarah pada siapa pun itu dan yang kudapati cengiran aneh dari ... Bang Fariz. Semenjak bergabung di Eagle eyes dan mengikuti berbagai pelatihan berat, refleksku sangatlah bagus, bisa dibilang naluriah. Bahkan sebelum otak sempat berpikir. Modal penting sebagai perlindungan diri dan penyerangan efektif.

"Bukankah seharusnya kamu mengajar?" Aku menurunkan pistol dan melepas penutup telinga.

"Sama sepertimu, aku punya hak prerogratif di sekolah. Aku bisa keluar masuk sekolah selama itu kepentingan misi? Tapi lebih aneh kamu, ngapain kamu bolos?"

"Tentang penyerangan semalam."

Ia berdecak. "Kasus semalam melibatkan anak-anak yang masih di bawah umur. Sementara dilimpahkan ke pihak kepolisian. Mereka yang akan memutuskan apakah akan dibawa ke jeruji besi atau rehabilitasi."

"Bagaimana dengan Alex?" tanyaku. "Aku merasa dia mengincarku bukan untuk balas dendam soal pacarnya yang lebih tertarik padaku."

"Penjahat itu akan jadi target kita selanjutnya. Dia sudah membuat generasi muda hancur dengan barang haram yang dia iming-imingkan. Selain itu, Kita harus menangkapnya untuk tahu apakah dia memang mengincarmu cuma demi kesenangannya saja atau hal lain."

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang