15. Jahat

60 14 0
                                    

Rumah Ayah ramai. Akhir pekan ini aku diajak Kak Erza mampir ke rumah beliau dan mendapati seluruh anggota keluarga berkumpul.

Aku kangen Liza. Ia makin uwu saja. Kembangan senyumnya di antara pipi gembilnya menyambutku. Kami berpelukan melompat-lompat, melepas rindu. Tahu apa yang terjadi, aku dan dia saling serang berbalas kecupan di seluruh wajah.

Ia menunjukkan gambar yang baru saja ia buat. Masih memprihatinkan. Tidak ada kemajuan sama sekali, namun aku tidak setega itu untuk jujur.

"Wah, gambar Liza bagus, banget!" bohong asli.

Kepalanya membesar dipuji. Terutama pipinya yang semakin memerah.

"Liza gambar dua bunda, lho! Liza seneng banget!"

Ah! Dua bunda, ya. Aku sadar aku cuma bunda angkat, kenyataan itu sedikit mengesalkan. Apalagi bunda kandungnya hadir juga di tengah-tengah kami. Sedang berbincang dengan Kak Erza.

Aku tahu salah jika masih cemburu sementara kami sudah menikah dan sudah saling menyatakan ribuan cinta. Namun tak termungkiri di sudut hati ada setitik ketidakrelaan juga.

Kebun belakangㅡseperti sebuah tradisi di rumah iniㅡmengadakan pesta keluarga. Para wanita termasuk aku, memasak, lebih tepatnya cuma melihat, doang. Sedang para lelaki selain menata meja dan perkakas, mereka juga menjaga anak-anak mereka.

Kak Alif, lelaki dingin itu ternyata sangatlah penyayang. Telaten menyuapi Zidan, padahal bocah itu ingin sekali menyusul kakak-kakaknya bermain petak umpet. Tanpa sadar aku melirik perut datarku seraya mengelusnya. Kapan, ya punya baby? Sudah satu bulan pasca menikah, sejauh ini belum ada tanda-tanda. Mungkin aku harus bersabar dan berusaha lebih keras lagi.

"Lily, bisa bantu aku ambil buah-buahan di dapur?"

Aku menyanggupi permintaan Diana, mengikutinya ke dalam. Apel, jeruk, anggur, kami keluarkan dari kantong plastik dan menatanya di mangkok kaca besar. 

"Maafkan aku Lily."

Huh? Aku mengangkat kepala, memandangnya terperanjat. Tak mengira ia membuka obrolan serius.

"Aku tahu, aku banyak salah padamu, Lily. Terutama mengenai Erza. Mengingat kelakuanku dulu, aku merasa sangat jahat."

Melihat ekspresinya, aku tak perlu lagi berprasangka buruk. Menurutku, ia cukup bisa dibilang tulus. Meski menyakitkan masa lalu yang ia torehkan, aku tidak ingin memupuk dendam. Sudahlah semua sudah berlalu. Dendam hanya membuat hati menjadi kotor saja. Tidak ada manfaatnya sama sekali.

"Kamu pasti tersiksa berpisah dengan Erza yang lebih memilih rela membantuku di masa sulit. Kamu tahu, dia laki-laki baik. Mungkin aku akan mati sia-sia jika tidak ada dia. Aku benar-benar membenci bayi di dalam perutku. Sebuah kesalahan yang tidak aku inginkan. Aku menyalahkannya atas hancurnya masa depanku. Aku sangat membencinya. Kalau bukan Erza yang meminta mempertahankannya, aku sudah pasti menggugurkannya."

Ia menangis.

"Hingga Liza lahir, kebencianku sedikit pun tak berkurang, justru kian bertambah. Aku menolak menyusuinya, bahkan menolak melihatnya. Aku melanjutkan hidup. Berusaha melupakan semua kemalanganku. Tapi sebagai ibu yang pernah melahirkan, ikatan ibu dan anak selamanya tidak akan terputus. Sebenci-bencinya aku terhadap anak itu, sulit untukku mengenyahkan dirinya dari pikiran."

Perasaan sensitif, kembali mengoyak. Mendesak ujung-ujung mataku basah.

"Liza. Anak itu tumbuh sangat cantik, 'kan? Aku menyesal pernah membencinya. Menyesal tidak menemani pertumbuhannya. Betapa berdosanya aku menyalahkan gadis polos dan cerdas itu atas takdir buruk yang kualami, padahal ia tak salah apa-apa."

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang