9. Merawat Kak Erza

154 20 0
                                    

Hujan di luar sana membawaku pada arus kegalauan. Sambil selonjoran pada sofa empuk, aku memperhatikan tiap tetesnya jatuh menghantam jalanan dan embunnya mengaburkan pintu kaca florist.

Jika aku merasa sangat kesepian di rumah, aku akan datang ke sini. Ada Kak Farah dan Kak Bayu yang selalu menghibur. Mereka pegawai rekrutan Kak Bella. Tidak seperti Kak Bayu yang bisa pulang ke rumah keluarga, Kak Farah justru tidak punya siapa pun yang dapat menampungnya di kota ini karena ia sebatang kara. Setelah kami pindah rumah, Kak Bella memintanya untuk tinggal di florist.

Pasca penyerangan itu, Kak Bella pulang makin larut dan pergi pagi-pagi buta keesokan harinya. Ia bilang Kakak Ganteng sudah sembuh. Ia sibuk merawat Kak Alif sebagai balas budi karena sudah menyelamatkannya dari orang-orang jahat itu. Begitu, sih, pengakuannya.

Kalau ditanya apakah aku kesal pada kakakku yang tidak punya waktu untuk adiknya dan malah mementingkan pekerjaan dan orang lain, pun di akhir pekan. Pastilah! Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa mengeluh dan marah padanya yang begitu kerepotan ini-itu demi diriku juga.

"Kak Farah!"

"Apa?" balas Kak Farah yang kini tengah menata beberapa buket yang akan dikirim esok.

"Aku lapar."

"Bukannya kamu sudah makan setengah jam lalu?"

"Hujan bikin aku lapar lagi." Aku merajuk.

"Masih ada sisa nasi di rice cooker  sama ayam goreng di dapur," ucapnya tanpa melirik.

"Tapi aku mau ngemil aja."

"Aku mau ke minimarket, Kak Farah mau titip apa?" tanyaku lantas bangkit.

Ia menggeleng. Aku mengambil payung pink dari dapur. Kedua telinga rubah mencuat tatkala aku mengembangkannya di ambang pintu. Minimarket yang buka dua puluh empat jam tidak jauh dari sini. Demi memuaskan perut, aku rela menembus hujan.

Cahaya minimarket tampak di ujung mata. Sosok tak asing lagi, memaksaku menyetop kaki. Kak Erza! Sedang menepuk kedua lengan. Basah kuyup. Bagaimana bisa ia di sini? Jangan dikira aku terlalu baik lantas mendekatinya untuk sebuah sapa. Tidak ketika nasib perutku jauh lebih berharga.

Buru-buru aku menurunkan payung, menghalangi wajahku dari pandanganya. Lantas mengendap masuk ke minimarket setelah meletakkan payung di depan pintu kaca. Huft! Aku rasa ia tak melihat. Aku mengambil keranjang dekat kasir. Mengabaikan sapaan dari seorang laki-laki di balik mesin kasir.

Saatnya berburu makanan. Aku mengambil apa saja yang menggugah selera. Entah itu keripik, crakers, cheetos atau bola-bola coklat. Pokoknya asal comot, lantaran aku tidak ingin berlama-lama satu tempat dengan Kak Erza. Lagipula jika aku menunggu Kak Erza pergi dahulu, akan memakan waktu lama sebab hujan sepertinya enggan mereda sementara perutku berdemo terus.

Setelah membayar belanjaan, aku langsung menghambur keluar. Memakai payung lagi dan melesat di antara kubangan.

"Hei, berhenti!"

Mampus gue! Dengan tubuh kaku, aku berbalik, nyengir ketika Kak Erza mencekal lenganku.

"Eh! Kak Erza. Sejak kapan Kakak di situ!"

"Ck! Kamu pikir, aku tidak bakalan tahu kalau kamu berpura-pura tidak melihatku tadi?!"

Aku memberengut, menangisi nasib sial karena bertemu si muka triplek. Erza memang cowok yang sulit dikibulin. Kampret!

"Udah, ya Kak. Aku mau pulang. Bye!"

"Urusan kita belum selesai!"

Tubuhku limbung membentur badannya ketika lenganku ditarik.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang