13. Bekas Luka

84 15 2
                                    

Ujung telunjukku bergerak. Pelan. Menyentuh alisnya yang masih selebat dulu. Barisan semut rang-rang. Lalu kelopak matanya yang tertutup. Bulu matanya yang lentik. Hidungnya yang masih sama mancungnya dengan perosotan waterboom. Jariku makin turun hingga parkir di bibirnya yang tipis, yang beberapa waktu lalu menyerangku habis-habisan. Bedanya, semua bagian dan garis wajahnya kian tegas dan dewasa seiring usia bertambah.

Seperti sebuah mimpi, aku bisa melihatnya sedekat ini dalam keadaan terlelap damai. Tak ada bosan mengamati wajahnya, bahkan sudah menjadi ketagihan. Menyesal rasanya pernah menafikan wajahnya yang lima tahun menghilang dari pandangan dan aku berjanji akan ada selalu di area jangkauan matanya. Hatiku mendadak memerih, tanpa komando mengurai air mata.

Di tubuhnya yang liat berotot tergambar bekas luka di beberapa bagian.

Terisak lirih membayangkan tahun-tahun yang ia lewati tanpa aku tahu apa yang sebenarnya ia hadapi?

"Kenapa menangis? Masih sakitkah? Apa sikapku menyakitimu?" Ia bertanya parau. Beruntun.

Pupilnya yang jelaga membayang kecemasan. Aku menenggelamkan wajah pada dadanya yang telanjang. Kurasakan ia mengelus kepalaku. Lalu mendaratkan satu kecupan di sana.

"Jujur, selama kepergian Kakak, apa yang Kakak lakukan sampai Kakak mendapatkan banyak bekas luka di tubuh Kakak.

Tangannya berhenti mengusap beberapa saat lalu berucap, "Tidurlah."

"Kak!" Aku mendongak. Menuntut penjelasan. Tapi ia enggan dilihat dari rautnya.

Lengannya yang kekar di bawah batang leherku bergerak. Sementara tangan kirinya memeluk punggungku, membawaku berguling hingga aku berada di atasnya hanya dibatasi selimut tebal saja.

"Apa pekerjaan Kakak yang membuat bekas-bekas ini? Kakak mempertaruhkan nyawa Kakak?

"Sudahlah, untuk apa membahas masa lalu, jika kita pada akhirnya bersama sekarang. Pikirkanlah sekarang dan masa depan kita saja. Tidurlah, aku tahu kamu lelah." Ia menepuk punggungku seperti seorang ayah menidurkan anaknya.

Aku cemberut melihatnya memejamkan mata. Jakunnya sesekali bergerak menelan. Aku tahu ia tak sepenuhnya tidur. Entah karena aku terlalu gemas, aku menciumnya.

Ia menggeram. "Jangan menggodaku, Lily. Aku tidak menjamin aku bisa bersikap lembut seperti tadi lagi."

Pipiku merah padam. Astaga! Pengalaman pertamaku terlalu intim bersamanya berputar di kepala. Ibadah yang indah berbuah surga.

Kepalaku memberat. Tepukan di punggung berganti usapan yang melenakan mengundang kantuk tak tertahan.

***

Aku mencium punggung tangannya seusai subuh berjamaah. Ia melepas peci, menatapku heran yang masih belum melepas mukenah.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

"Aku butuh penjelasan."

"Penjelasan apa?"

Aku menggerutu. "Kakak nggak usah bersikap naif begitu. Penjelasan semalam."

"Proses membuat bayi maksudmu?" Ia mengerling. "Gampang. Kita bisa melakukannya di mana pun sesuka hati tanpa ada yang melarang."

Mukaku merah padam, tiba-tiba merinding ngilu. "Kak Eer, kenapa jadi mesum begitu?! Maksudku penjelasan soal bekas luka Kakak!"

Aku tahu ia tahu maksudku, cuma ia sejak awal ngeles mulu dan kini ia bersikap dingin. Mengabaikanku dan memilih membaca kitab suci dengan amat tartil. Aku memejamkan mata, masih duduk bersimpuh pada tahiyat akhir. Mendengarnya penuh haru. Aku belum ingin beranjak dari atas sajadah masih ingin mendengarnya lebih dan lebih.

I'm Into You, Lily ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang