02. Nasib Sial

203 8 1
                                    

Kutarik napas panjang, jantung ini tiba-tiba berdegup dengan kencang. Hati ini merasa tak tenang, kala mengingat jikalau sekarang aku akan bertemu dengan mertuaku sendiri.

Saat pernikahan kami, mereka tidak bisa datang karena terjebak di Kanada. Pesawatnya takbisa berangkat karena salju yang turun. Tentu sudah jelas, jika pernikahan ini dirancang dengan tergesa-gesa. Seolah besok tidak menikah akan mati.

Aku masih merasa tak nyaman. Mobil yang membawaku sudah mulai memasuki pekarangan rumah. Aku gugup sekali! Bayang-bayang tentang mertua yang jahat sudah memenuhi pikiranku. Seorang ibu mertua yang selalu menuntut menantunya sempurna, serta sosok ayah mertua yang selalu membanding-bandingkan dengan gadis lain membuatku takut.

Sepertinya, niatku untuk menghabiskan harta Freza harus sirna. Diri ini sudah mengecil kala mengingat sosok mertua nantinya. Namun, semua pikiran itu terbantahkan setelah aku melihat mertuaku yang sesungguhnya.

Mereka begitu baik, saat aku tiba Ibu Freza-Daniar memeluk hangat tubuhku. Ucapannya begitu lemah lembut penuh kasih sayang. Dan ayah Freza-Dave sangat antusias akan kedatanganku.

Terkejut? Sangat hingga membuat otakku tiba-tiba kosong. Terlebih mereka memperlakukanku layaknya anak kandung.

"Kami terkejut mendengar jika Freza akan menikah. Ini sungguh di luar nalar, tetapi kami sangat bersyukur. Apalagi Fiona sangatlah cantik dan baik," tutur Pak Dave.

"Benar, menantuku ini tidak ada duanya. Freza sangat beruntung mendapat gadis sepertimu," imbuh Bu Daniar.

Ucapan mereka membuatku tersipu malu. Aku yang takpernah mendapat perhatian dari sosok orang tua, kini menuai banyak pujian dari mertuaku.
"Jangan terlalu memujinya. Dia akan besar kepala dan menjadi tidak tahu diri," ucap Freza sinis menatap tajam mataku.

Ah iya, untuk sesaat aku melupakan pria menyebalkan itu. Tatapannya itu aku sangat membencinya. Seolah menunjukan jika aku tak pantas mendapat perhatian dari orang tuanya. Aku kan menantunya? Jadi, apa salahnya jika aku mendapat perhatian lebih.

"Freza, jangan galak-galak sama menantu Mama, awas ya bikin Fiona sakit hati. Mama coret kamu dari kartu keluarga," ancam Bu Daniar membuatku tersenyum mengejek Freza.

Aku begitu senang, tanpa sengaja aku membalas perbuatan Freza yang menyebalkan sebelumnya. Lihatlah, pria itu sepertinya tengah menahan amarah. Rahangnya menegas, sorot matanya menajam bagaikan Elang yang akan memangsa seekor itik.

"Ya," balas Freza dingin. Dia bergegas pergi bersama sekertarisnya yang siap sedia di samping. Aku terkekeh geli melihatnya, Freza tidak seburuk itu. Sesaat aku melupakan, jika Freza adalah pria menyebalkan karena sikap gemasnya tadi.

"Freza kau mau pergi kemana? Mama belum selesai ceramah," ucap Bu Daniar membuat Freza terdiam dan segera berbalik ke belakang tubuh.

"Ada meeting yang gak bisa ditinggalin sama Freza, Ma. Bukannya menantu Mama ada di sebelah Mama? Bicara saja dengannya," balas Freza angkuh. Setelah mengatakan itu Freza pergi.

Ada-ada saja pria itu, mengapa nada bicaranya sangat ketus pada ibunya sendiri? Pantas saja dia tidak menikah, ternyata karena sikap itu toh. Aku hanya bisa menghela napas, beruntung pernikahanku dengannya hanya pernikahan kontrak.

Jika tidak maka aku akan sakit hati setiap harinya mendapat perlakuan buruk si Freza itu. Ya, aku bukan wanita manja yang haus akan perhatian. Namun, sikap acuh itu yang tak kusuka. Rasanya ingin melenyapkan pria itu sekarang.

"Fiona, kamu jangan sedih ya. Freza memang seperti itu, dia dingin-dingin perhatian." Ucapan Bu Daniar berhasil mengagetkanku. Aku yang mendengar hanya bisa tersenyum, walau dalam hati aku tidak peduli. Mau Freza begini atau begitu bukan peduliku.

"Ya ampun pasti kau sangat sedih karena ditinggal oleh Freza, kan? Mama sudah memarahinya tadi. Dia sudah menikah, harus membiasakan diri untuk hidup berdua. Lagipula keputusan untuk menikah itu Freza yang ambil, bukan Mama atau Papa nya."

Aku tertegun mendengarnya, memang benar apa yang diucapkan Bu Daniar. Freza tiba-tiba meminta Tante Hera untuk menikahkanku dengannya, pasti ada sesuatu yang terjadi. Karena, mengapa dari banyaknya wanita yang memujanya harus aku yang dipilih?

Memang Freza sangatlah sempurna, tetapi dia bukan tipeku. Sepertinya aku harus menanyakan hal ini padanya nanti, tentang alasan mengapa dia ingin menikahiku.

"Apa Freza memperlakukanmu begitu buruk kemarin? Ya ampun, Mama gak bakal biarin dia nyakitin mantu Mama lagi." Aku menggelengkan kepala menolak, karena berpikir terlalu keras dahiku sampai berkerut dibuatnya.

"Tidak Ma, Fiona hanya memikirkan keluarga Bibi. Semenjak pernikahan kemarin, Fiona belum melihat mereka," balasku beralasan walaupun sebenarnya aku tak pernah memikirkan mereka sedikit pun.

Bu Daniar tersenyum, tangannya mengusap lembut rambutku. "Nanti kita pergi ke rumah bibimu ya," ucapnya membuatku terkesiap.

Pasalnya aku tak mau jika harus bertemu dengan mereka lagi, terlebih pada Vina itu. Karena dia, aku kehilangan mahkota kesucianku.

Aku hanya bisa tersenyum pasrah, semoga saja ucapan Bu Daniar itu hanya omong kosong belaka. Jika tidak, ah rasanya aku akan kembali pada neraka lagi.

"Kau sudah makan? Mau makan bersama Mama?" Tentu saja aku mengangguk setuju dengan antusias. Aku tak pernah mendapat perhatian seperti ini, maka saat dapat aku akan memanfaatkannya dengan baik.

*

Aku membaringkan tubuhku di ranjang yang besar dan mewah ini. Kuusap perutku lembut yang sudah terisi penuh dengan makanan lezat tadi. Bu Daniar memang ahli menyenangkan hati menantunya.

Mulutku menguap, sepertinya tidur sekarang bukan masalah besar. Baru saja aku akan terlelap dalam tidurku, suara pintu yang dibuka dengan kencang mengagetkanku. Aku langsung bangun dan menatap ke samping, menemukan sosok pria menyebalkan itu lagi.

"Ngapain lo di kamar gue?" Aku menutup telingaku rapat, Freza bertanya dengan berteriak hingga membuat telingaku sakit.

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya aku bisa membuka suara, "Memori kepala lo ditinggal di kantor hm? Masa lupa kemarin baru nikah, efek kelamaan jomblo ya," ejekku sambil tersenyum merendahkan.

"Lo bener-bener ya." Freza memelototiku, tetapi aku tidak akan gentar. Kubalas juga dengan pelototan mataku hingga membuatnya menyerah dan memutus perlombaan ini.

Freza mendorong kursi rodanya menghampiri lemari, tangannya yang kekar dan kuat itu membuka dan mengambil beberapa baju. Aku masih menatap kegiatannya dari jauh, rasa kantukku sudah hilang dengan kehadiran Freza.

"Ngapain natep gue? Oh, gue tampan ya? Iyalah makanya lo mau nikah ama gue," sarkas Freza membuatku bergidik jijik. Rasanya aku ingin muntah mendengar tingkat kepedean yang begitu tinggi diucapkannya. Belum pernah aku menemukan orang yang memuji dirinya sendiri selain Freza.

Freza memang beda, perlahan aku mengetahui sikap aslinya yang berbeda dengan rumor di luaran sana. Ternyata rumor itu sangatlah salah, benar namanya kabar burung ya takbisa dipercaya.

"Eh iya, gue pengen tanya kenapa lo mau nikahin gue?" tanyaku berhasil membuat Freza terdiam.

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang