12. Siasat Freza

50 4 0
                                    

"Apakah aku peduli?" tanyaku sambil memasang wajah datar menatap Freza.

Sebenarnya diriku sedikit takut, tetapi aku merasa tertantang karena sikap Freza sudah cukup berbeda dari biasanya. Mungkin, ini akan menjadi hal yang sangat menarik bagiku.

Freza berdecih kesal, "Baiklah, karena kamu istriku maka pijat bahu saya sekarang!" perintah Freza membuatku memelotot tajam.

"Aku istrimu bukan pembantumu yang bisa seenaknya disuruh!" bantahku tidak terima.

Akan tetapi bukan Freza namanya, dia menarik lenganku dan menyimpannya di bahu dirinya sendiri.

"Ayo!" Aku mendengus kesal, kuturuti apa keinginannya. Sambil berpikir ada sesuatu hal yang berbeda di antara kami berdua.

"Za, sejak kapan lo jadi ngomong formal gini sama gue?" tanyaku spontan ketika menyadari Freza menjadi lebih formal dari biasanya.

"Suka hati lah, emang buat rugi kamu?" tanya Freza balik membuatku berdecih kesal.

"Aneh tau gak? Lo biasanya gak bisa formal sekarang malah formal, dan ngapain juga lo nyuruh gue dateng ke sin?" tanyaku bertubi-tubi.

Freza menjadi sangat aneh, ya memang dia pria aneh. Tapi sekarang sungguh sangat aneh, seperti bukan Freza yang kukenal.

"Udah kamu fokus aja sama tugasmu, gak usah ganggu kerja!"

Bibirku mengerucut kesal, dengan emosi aku mencengkram bahu Freza kuat, membuat sang empunya berteriak sakit.

"Lo ngapain sih? Sakit tau!" cecar Freza membuatku sumringah.

"Nah, gitu dong. Gue gak suka lo manggil Aku-kamu. Keliatan banget kayak temen bisnis aja," tuturku membuat Freza terdiam.

"Bukannya suka laki-laki kayak gitu? Formal!" balas Freza membuatku menatapnya dengan intens.

Freza menjadi kikuk dibuatnya, segera dia memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Jangan seenaknya ngasih kesimpulan deh. Gue gak pernah suka cowok formal, bukannya lo bilang kita temen, ya? Gak usah formal lah," ucapku sambil menepuk pelan bahu Freza.

Aku tidak menyukai Freza yang formal, dia terlihat sangat kaku dan menyeramkan bagiku. Aku lebih menyukainya ketika dia berbicara santai, akan membuatku merasa nyaman.

"Begitukah?" tanyanya membuatku mengangguk dengan antusias.

Freza tersenyum tipis kemudian melanjutkan kerjaannya.

"Za, lo gak laper apa? Udah mau makan siang," ucapku yang tengah duduk di sofa sambil menatap Freza.

Freza melirik jam di tangannya yang menunjukan waktu makan siang.

"Emang mau makan siang di mana?" tanya Freza yang masih sibuk dengan leptop di mejanya itu.

"Males banget kalo harus keluar, di luar lagi panas banget," tuturku sambil meluruskan kedua kakiku—meregangkan tubuhku yang terasa sedikit pegal karena duduk di sofa terus menerus.

"Yaudah pesen makanan aja, gak perlu keluar."

Aku mengangguk antusias, tetapi kemudian teringat sesuatu.

"Eh, kayaknya lo makan siang sendiri deh. Gue harus ketemu sama temen lama," tuturku menatap Freza yang seketika menutup leptopnya tiba-tiba.

"Tiiidak!! Masa suami sendiri ditinggalin cuman karena temen doang, mana kesetiaan seorang istri?" tanya Freza sambil menggerakkan kursi rodanya bergerak ke arahku.

Aku terdiam bingung, ucapan Freza benar-benar membuatku tidak percaya apakah aku sekarang berada di alam mimpi atau tidak.

"A apa maksudnya? Gak! Lo kenapa sih?" tanyaku dengan nada yang tinggi.

Jujur aku kesal dengan perubahan Freza yang sangat berbeda jauh dengan sebelumnya.

"Apa? Gak suka, ya? Kan emang bener lo istri gue. Emang suami gak boleh ngelarang istrinya deket sama cowok lain?" tanya Freza balik membuatku terperanjat.

Aku memilih diam tidak menjawab, walaupun sebenarnya di dalam kepalaku banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Freza.

Freza menarik nafas gusar, dia menutup leptopnya dengan kencang sampai membuatku terkejut.

"Pergilah dengan temanmu sana!" ucap Freza yang kemudian meninggalkanku pergi ntah kemana.

Aku menjadi kebingungan sendiri, apa yang Freza lakukan sekarang? Mengapa dia begitu kesal?

"Bodo, ah. Bukan urusan gue," ucapku dengan kesal kemudian keluar untuk mencari makan.

Selama lima belas menit aku mencari sebuah resto yang enak di sekitar kantor. Jujur saja, aku adalah orang awam di sini. Jadi aku tidak tahu mana saja restaurant yang enak di sini.

Hingga ketika aku menemukannya, aku segera memesan makanan. Siang ini aku akan makan sendiri, tadinya aku ingin mengajak Freza. Namun pria itu tidak kutemukan di manapun.

Aku juga ingin makan siang dengan teman lamaku, tetapi aku lupa meminta nomor telfon untuk menghubunginya.

Makanan datang, aku memakannya dengan lahap. Tentu saja pikiranku tidak bisa lepas dari Freza.

Sikap Freza pagi ini benar-benar berbeda dari biasanya. Aku terdiam sesaat ketika menyadari sesuatu, Freza cemburu?

Aku sedikit tertawa, tidak mungkin rasanya jika Freza cemburu padaku. Toh kami menikah karena tuntutan, bukan keinginan kami satu sama lain.

"Orang bilang lo itu gila, ternyata emang gila ya. Ngelamun terus ketawa-ketawa sendiri," tutur seseorang membuatku terkejut lantas menatapnya.

Freza muncul di sampingku dan mengambil beberapa sendok makananku lantas dimakannya.

"Za ini makanan gue ngapain lo makan?" tanyaku terkejut dengan tindakannya.

"Gue laper, lo gak kasian apa? Gue nyari lo daritadi taunya di sini sendirian. Gak jadi jalan sama temen lo?"

Kutatap Freza dengan tatapan tajam, enak sekali dia bertanya dan merebut makananku sekarang.

"Gak jadi, udah jangan ganggu gue." Aku berusaha merebut sendokku kembali, tetapi Freza dengan cepat menjauhkannya dariku.

"Kok bisa?" tanyanya membuatku mendengkus kesal.

"Bisalah! Masa gak bisa, udah siniin sendoknya. Gue mau makan," balasku dan berhasil mendapatkan sendok itu kembali.

Aku dengan rakus makan dan membiarkan Freza. Tidak peduli aku padanya, hanya dengan Freza saja aku tidak perlu menjaga harga diri.

"Siapin gue dong!" pinta Freza membuat kedua alisku berkerut.

Freza tidak melakukan apa-apa, dia segera membuka mulutnya lebar-lebar.

Tanganku tergerak untuk menyuapinya tidak tahu kenapa, dan aku bisa melihat dia merasa senang sekali.

"Ha? Sesenang itu gue siapin?" tanyaku dalam hati.

"Hai Fiona!" Aku menatap ke depan dan menemukan Kak Alvian yang tengah berjalan mendekati kami berdua.

"Loh, Kakak di sini? Ma maafkan aku mendahului Kakak makan siang, padahal tadi aku yang mengajak Kakak makan siang bersama," ucapku meminta maaf.

Kak Alvian tertawa, "Tidak apa-apa, tapi ternyata kamu akrab ya sama Pak Freza," ujar Kak Alvian membuatku baru sadar jika ada Freza di sini.

Freza merangkul bahuku dengan cepat, "Ya, Fiona istri saya. Tidak perlu saya bicarakan pun anda tahu bagaimana harus bersikap bukan?" tanya Freza dengan tatapan tajamnya membuat Kak Alvian menunduk dan mengangguk.

Aki terkejut dengan pengakuan Freza yang mengatakan pernikahan kami di depan Kak Alvian.

"Haha aku pikir Fiona belum menikah, ternyata sudah ada pria lain yang mendahuluiku," tutur Kak Alvian membuatku semakin terkejut.

"Ada apa dengan para pria ini!?"

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang