20. Ceraikan Aku!

73 5 4
                                    

Hari ini begitu melelahkan, sejauh ini aku tidak bisa bertemu dengan Freza.

Pria itu sedari tadi menghindar dariku, padahal aku ingin berbicara padanya. Terakhir kali kami bertemu ketika dia akan pergi rapat.

Aku ingin meminta waktunya sebentar, tetapi Freza menolak. Bahkan, ketika aku menunggunya keluar Freza tetap bersikukuh tidak mau bertemu denganku.

Hari berjalan dengan cepat, tidak terasa ini sudah malam dan aku tidak melihat Freza keluar dari kantornya.

Aku menunggu sambil bersembunyi, rencanaku tepat ketika Freza masuk ke dalam mobil, aku akan menyelinap masuk.

Akan tetapi, sudah sampai jam sembilan aku tidak melihatnya. Hingga aku bertanya pada salah seorang satpam, mengenai keberadaan Freza.

"Pak, apakah Pak Freza sudah pulang?" tanyaku langsung mendapat anggukan darinya.

Aku benar-benar terkejut ketika mengetahui jika Freza sudah pulang. Hatiku bertanya, kapan dia pulang? Dan lewat apa?

Perasan sedari tadi aku menunggunya di luar seperti orang gila. Namun, ternyata yang ditunggu sudah pulang lebih dulu.

Aku hanya bisa tersenyum dan pamit pergi. Tidak ada gunanya aku menunggu seharian di sini, lebih baik aku pulang ke rumah.

Semoga saja aku bisa bertemu dengan Freza dan mengobrol dengannya. Seperti yang dikatakan satpam tadi, aku melihat mobil Freza yang terparkir di halaman.

"Aku harus segera menemuinya!" ucapku dalam hati kemudian berjalan menuju ruang kerja Freza.

Firasatku mengatakan jika Freza sedang berada di ruang kerjanya. Tepat setelah aku masuk ke rumah, aku berpapasan dengan Rista.

Rista sedikit terkejut dengan kedatanganku yang pulang lebih malam.

"Nyonya, mengapa anda pulang begitu larut?" tanyanya membuatku terdiam.

"Rista, apa kamu melihat Mama dan Papa?" tanyaku balik menghiraukan pertanyaan Rista sebelumnya.

"Tuan dan Nyonya Besar masih belum pulang, apakah Nyonya ingin makan sesuatu?" tanya Rista membuatku menggelengkan kepala.

Aku lantas pergi meninggalkan Rista yang masih berdiri diam mematung di tempatnya.

Sebenarnya aku sedikit curiga pada Rista, apakah dia sudah mengetahui segalanya? Yah, aku tahu jika Rista menyukai Freza.

Terlihat dari cara dan sikapnya ketika bertemu dengan Freza. Lagipula, setelah aku membaca CV miliknya.

Aku menemukan sesuatu yang tidak terduga, ternyata Rista dulu pernah satu universitas yang sama dengan Freza.

Sudah tentu, di kehidupan yang akan datang Rista bisa menjadi salah satu penyebab masalahku.

Benar dugaanku, aku melihat asisten Freza yang baru keluar dari ruangan kerja Freza.

Dia tampak terkejut dengan kedatanganku. Baru saja aku akan masuk ke dalam, aku langsung dihadang oleh asistennya Freza.

"Maaf, Nyonya. Tuan sedang tidak bisa diganggu untuk saat ini," ucapnya membuatku tersenyum sinis.

"Jangan lupakan jika aku adalah istrinya. Atas hak apa kamu melarangku masuk?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Karena ini sudah menjadi perintah dari Tuan Freza sendiri. Siapapun tidak bisa membantahnya," balasnya membuatku terdiam.

Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mama dan Papa sedang tidak ada di rumah, akan sangat bagus jika aku bertengkar dengan Freza di sini.

Kutatap dengan tajam asisten Freza dari dekat, sampai detik ini aku belum mengetahui namanya siapa.

"Pergilah dari jalanku!" Lantas kudorong tangan asisten Freza yang menghadangku untuk membuka pintu.

Pintu terbuka dengan paksa, Freza menatapku dengan tajam karena asisten Freza langsung tersungkur ke lantai.

Dia segera bangun dan menunduk pada Freza. "Maafkan saya, Tuan. Say–"

"Pergilah, tinggalkan kami di sini," potong Freza membuatnya mengangguk lantas mengikuti apa yang Freza katakan.

Freza mengacuhkanku, setelah asistennya pergi dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Apa yang lo mau sekarang?" tanyaku blak-blakan.

Freza tidak menjawabnya, bahkan dia tidak menatap wajahku dan hanya terus menunduk membaca dokumen-dokumen di hadapannya.

"Freza Wardhana! Saya sedang berbicara dengan Anda!" ucapku dengan formal.

Aku tidak bisa menunggunya lagi, jujur saja aku tidak suka diacuhkan seperti ini. Freza begitu berbeda dengan apa yang aku mimpikan sebelumnya.

Freza menatapku dengan memicingkan matanya tajam.

"Ceraikan aku!" pintaku tiba-tiba membuat Freza terdiam membisu.

Freza tersenyum dengan sinis menatapku, "Ternyata memang benar Alvian ayah dari anak itu," balasnya membuatku mengernyitkan dahi.

Aku benar-benar bingung, mengapa Freza selalu saja menyimpulkan sesuatu dengan begitu cepat? Bahkan, dia tidak pernah bertanya hal itu padaku?

"Lo kalau mau pisah, gue terima. Gue gak mau denger tuduhan lainnya lagi," ucapku dengan ketus.

Aku sudah terlalu muak jika harus mendengar tuduhan dan hinaan lain yang Freza katakan.

Jika dia bukan pria yang aku sukai selama ini, mungkin aku bisa menerimanya. Namun, ini malah sebaliknya, aku tidak bisa membenci Freza.

Kelemahan terbesarku adalah tidak bisa membenci pria itu apapun kesalahannya. Cintaku sudah terlalu besar, makanya daripada harus bersabar dan terus bersabar. Aku memilih untuk menjauh dari Freza, mungkin itu lebih baik untuk hatiku.

"Lo pikir ketika lo minta pergi lo bakal pergi?" tanya Freza membuyarkan lamunanku.

Dahiku mengernyit heran, aku tidak tahu apa yang tengah Freza pikirkan. Bukankah dia ingin menceraikanku? Mengapa dia mengatakan hal lain?

"Bukannya lo sendiri yang pengen kita cerai? Ya udah, gue turutin apa mau lo. Terus kenapa?" tanyaku balik.

Freza tersenyum dengan angkuh, "Tidak bisa dan tidak akan pernah terjadi. Kebohongan yang lo lakuin gak cukup cuman dengan perceraian saja," ucapnya menatapku dengan tajam.

"Lo harus terima apa yang lo lakuin selama ini ke gue, Fiona. Lo harus bayar semuanya," tutur Freza yang kemudian mendorong kursi rodanya keluar dari ruang kerjanya meninggalkanku di tempat.

Aku benar-benar terkejut dengan ucapan Freza. Dia ingin menggantungku? Aku tidak punya hak apa-apa.

Semuanya benar-benar hancur, bagaimana aku bisa hidup dengan tenang sekarang? Freza adalah pria yang berbahaya. Bahkan dia tidak segan untuk membuatku menderita.

Penilaianku selama ini ternyata salah, Freza adalah orang pendendam.

Aku tidak tahu jenis kesalahan apa yang telah kulakukan padanya. Dia bersikap seolah benar-benar dirugikan, padahal yang menjadi korban di sini adalah aku.

Akan tetapi, sikap Freza begitu berlebihan. Dia membuat masalah ini semakin runyam dan bertambah panjang.

Aku ingin menangis, tetapi hatiku menjadi marah dan kesal. Dia jelas-jelas tidak ingin melihatku bahagia.

"Apa yang dia inginkan sekarang? Apakah aku harus hidup seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri.

Tidak tahu amarah apa yang Freza tahan terhadapku. Dia tidak mengungkapkan keseluruhannya, lebih baik aku dihina dengan brutal dan aku langsung pergi meninggalkannya.

Daripada harus menjalankan kehidupan seperti ini. Aku bukan istri untuknya, lalu bagaimana bisa aku membesarkan anakku sendiri?

Freza begitu kejam, dia penuh dengan teka-teki. Aku tidak bisa menebaknya begitu saja, karena ternyata penilaianku semuanya salah.

"Freza, gue gak bakal biarin lo menang gitu aja. Lo pikir semua kendali ada di tangan lo? Lo salah besar!"

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang