17. Menantu Pilihan

40 3 0
                                    

"Lo serius?" tanyaku dengan lirih.

Aku tak mengharapkan Freza akan menceraikanku secepat ini. Kupikir, kita bisa mengobrol dari hati ke hati, karena Freza sudah menyukaiku.

Akan tetapi, sepertinya rasa simpati pun tidak ada padanya.

Freza menatapku dengan tatapan tajam, aura mengintimidasinya begitu kuat dan mencekam.

"Apa wajah gue keliatan gak serius? Mama gak bakal pernah terima menantunya lebih sampah daripada wanita mal–"

Ucapan Freza terhenti karena aku segera menamparnya begitu keras. Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaran dibuatnya.

"Cukup! Lo siapa berani bandingin gue sama wanita malam, hah!?"

Sekuat tenaga aku menahan tangisku, Freza benar-benar tak punya hati. Menghinaku, padahal dirinya tidak tahu situasiku seperti apa.

"Gue udah cukup sabar ya, kalo emang lo mau cerai gak usah pake hina segala. Gue gak pernah buat rugi lo selama ini," tuturku dengan nada yang sedikit merendah.

Kedua tanganku bergemetar menahan amarah yang sudah meluap-luap di kepala dan hatiku.

Berbeda dengan Freza yang mematung di tempat. Sepertinya dia terkejut karena aku sudah kehilangan kesabaran.

"Dengerin gue untuk terakhir kalinya. Lo lebih sampah daripada ucapan lo, Za! Serah lo sekarang, gue gak bakal ikut campur lagi!" ucapku yang kemudian pergi meninggalkan Freza.

Aku sudah tidak kuat menahan tangisku yang pecah selama berjalan menuju kamar mandi.

Tidak peduli dengan tatapan semua orang yang menatapku. Hatiku sudah sakit mendengar perkataan Freza yang sama dengan orang lain.

Kupikir Freza berbeda dari kebanyakan pria, tetapi dia sama. Menilai orang dari luarnya, dia tidak berpikir bagaimana perasaan orang lain.

Aku segera masuk ke kamar mandi, beruntung di sana tidak ada siapa-siapa. Tangisku pecah, kutatap wajahku di cermin yang berantakan dengan wajah berwarna merah merona seluruhnya.

Kucuci tanganku dengan kasar, rasanya begitu kotor tanganku karena menampar wajah Freza.

Aku sudah tidak bisa sabar, dia sudah cukup keterlaluan. Bahkan untuk masuk ke dalam dan menikmati acaranya pun sudah enggan aku.

"Lebih baik aku pulang," ucapku dalam hati.

Kuusap kedua pipiku dengan kasar, rasanya mataku tidak bisa berhenti menangis. Apalagi ketika kedua mataku menatap bayanganku sendiri di cermin.

Hingga ketika pintu dibuka secara tiba-tiba membuatku terkejut setengah mati.

Pasalnya penampilanku begitu berantakan, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah orang yang masuk itu Mama.

"Ma–Mama?" Mama tidak menjawab apa-apa, dia berhambur memelukku begitu erat.

Aku yang sudah tidak ingin menangis kembali akhirnya malah menangis. Kupeluk Mama begifu erat, rasanya begitu nyaman bisa menangis seperti ini.

"Sayang, sudah Mama ada di sini," tutur Mama membuatku merasa terlindungi.

Aku menangis dalam pelukan Mama, rasanya beban di pundakku langsung lenyap ketika Mama datang kemari.

"Mama, maafin Fiona, Ma. Fiona gak pernah mau bohongin Mas Freza! Fiona gak mau kayak gini sam–"

"Sudah, Sayang. Mama sudah tahu segalanya, kamu jangan nangis lagi, ya?" pinta Mama sambil mengelus punggung dan kepalaku dengan lembut.

Rasanya begitu lega, semua ketakutanku menghilang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku begitu bersyukur, Mama yang merupakan ibu mertuaku sendiri mengerti bagaimana situasiku.

"Ma, Mas Freza ngajak Fiona pisah, Fiona harus apa?" tanyaku di sela-sela tangisku.

Mama menggelengkan kepala, "Nggak Sayang, gimana pun keadaannya kamu gak bakal pisah sama Mas Freza. Karena kamu menantu pilihan Mama," tuturnya membuatku mengeratkan pelukanku pada Mama.

*

Aku terduduk diam di sebuah taman, tentu saja sudah ada beberapa penjaga yang menjaga di sekitar taman.

Mama takut jika kabar pertengkaranku dengan Freza sampai ke publik. Itu akan membuat reputasiku dengan Freza hancur.

Jadi, Mama memutuskan untuk menyuruh beberapa penjaga berkeliling sekitar taman.

Mama datang dengan membawakanku sebotol minuman. Aku begitu senang dan terharu melihat sikap Mama yang begitu perhatian dan lembut padaku.

"Sayang, kamu harus minum. Tenggorokanmu pasti sakit karena terlalu banyak menangis hari ini," ucapnya membuatku sedikit tersenyum.

Aku menerimanya dengan senang hati, tatapan Mama begitu lembut menatapku. Selayaknya seorang ibu kandung yang khawatir pada anaknya.

Selama aku hidup, aku belum pernah merasakan apa itu kasih sayang dari sosok seorang ibu.

Ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku. Sejak saat itu ayah selalu menyalahkanku sebagai penyebab kematian ibuku sendiri.

Kupikir, jika ayah menikah kembali aku akan hidup dengan bahagia. Nyatanya tidak, mereka membuangku. Kami hidup dalam satu rumah yang sama, tetapi aku selalu diasingkan.

Mereka keluarga hitungan, satu peserpun uang yang aku ambil harus aku kembalikan berkali-kali lipat.

Makanya ketika mendapat perhatian dari ibu mertuaku sendiri, membuatku tidak bisa menahan kebahagiaan yang kurasakan.

"Mama, sejak kapan Mama tahu kalau Fiona hamil?" tanyaku dengan menundukan kepala.

"Saat kalian ribut di rumah sakit. Kamu tahu Sayang? Saat itu Freza tengah menemani teman Mama yang melahirkan di rumah sakit itu. Mama begitu terkejut ketika mengetahui kalian ribut," tuturnya membuatku menatap Mama yang tengah menatap lurus ke depan.

"Mama sedikit tidak percaya, Mama juga egois sakit hati karena ternyata kamu harus melalui masa sulit sampai menimbulkan banyak masalah seperti ini," imbuh Mama membuatku membulatkan kedua mata tidak percaya mendengarnya.

"Maksudnya, Ma?" tanyaku tidak mengerti.

Mama menatapku sambil tersenyum, "Mama sakit hati karena menantu yang sudah Mama anggap sebagai putri sendiri harus dikotori oleh orang tidak bertanggung jawab. Mama seorang wanita, Mama juga bisa merasakan sakit yang kamu rasakan, Fiona.

"Mama tahu jika kamu tidak benar-benar menginginkan kesalahan ini. Mama bercerita dengan Papa soal ini, Papa juga terkejut mendengarnya. Makanya, Papa akan membantumu menemukan pria yang tidak bertanggung jawab itu," tuturnya membuatku menjatuhkan air mata kembali.

Aku bingung harus bagaimana meresponnya. Dinding yang kubuat untuk mengokohkan hatiku kini telah hancur.

"Ba–bagaimana mungkin Mama bisa seperti ini? Semua orang selalu menyalahkanku, bahkan Mas Freza pun tidak mau mendengarkan ceritaku. Bagaimana bisa Mama mengerti situasiku begitu cepat?" tanyaku dengan mengusap kedua mataku yang perlahan menangis kembali.

"Sayang, Mama tahu kamu bagaimana. Mama sudah mengenalmu sejak kamu masih kuliah, Mama sudah tahu watakmu makanya Mama tidak akan pernah berpikir itu kesalahanmu. Hanya kamu yang bisa menikah dengan Freza—anakku," balasnya membuatku terisak menangis.

Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar sejauh ini. Aku begitu takut jika Mama akan acuh padaku seperti yang dilakukan Freza.

Akan tetapi, ternyata malah sebaliknya. Aku senang sekaligus terharu, apakah memang benar aku pantas bahagia sekarang?

"Tapi mengapa, Ma? Mama gak pernah bilang sama Fiona. Fiona takut jika sikap Mama akan sama dengan Mas Freza. Mama akan acuh dan menyalahkanku," ucapku.

"Aku takut, Ma. Jika Mama acuh padaku, sepertinya aku akan bunuh diri. Tiada yang bisa aku percayai di sini," tambahku langsung mendapat pelukan hangat dari Mama.

"Kamu menantu pilihan Mama, Sayang. Tidak ada yang bisa menggantikannya," tuturnya membuatku tersenyum bahagia mendengarnya.

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang