15. Kehamilan Yang Tidak Diinginkan

67 3 0
                                    

Kakiku bergerak tidak nyaman, aku menunggu nomor urut giliranku tiba.

Pagi ini aku berencana untuk mengecek tubuhku, aku baru sadar jika waktu datang bukankah sedikit terlambat.

Aku khawatir jika sesuatu yang paling kutakuti sudah tiba waktunya. Sedari tadi aku merapalkan doa untuk diriku sendiri.

Ketika nomor urutanku dipanggil, aku segera masuk ke dalam. Kulihat seorang dokter wanita muda tersenyum menatapku.

"Ayo berbaringlah," perintahnya segera aku turuti. Dia memeriksaku sebentar kemudian menyuruhku untuk duduk di matras.

"Bagaimana keadaan saya dok? Ap apakah benar kalau saya hamil?" tanyaku dengan nada khawatir.

Dokter itu tersenyum kemudian mengangguk, "Benar sekali ibu, ibu tengah mengandung sudah dua minggu ini," balasnya membuatku terdiam membatu.

Bagai tersambar petir di siang hari, aku terdiam mematung di tempatku sendiri. Hal yang paling aku takutkan kini terjadi, hanya dengan satu malam saja berhasil menumbuhkan benih di dalam rahimku.

Kakiku terasa lemas sekali, aku memutuskan keluar dari ruang dokter tadi dan kemudian terduduk di sebuah bangku rumah sakit.

"Apa ini? Kenapa gue harus hamil di saat kayak gini!? Gue belum kasih tau Freza soal masa lalu gue," ucapku dalam hati.

Aku benar-benar takut sekaligus bingung. Pasalnya aku belum memberitahu Freza jika diriku sudah tidak perawan lagi, dan sekarang perkara bertambah dengan kabar kehamilanku.

"Apa Freza bakal marah kalau tahu hal ini?" Aku terdiam, pertanyaan itu terus menerus terngiang-ngiang di kepalaku.

"Fiona!" Kedua mataku membulat sempurna, suara ini berhasil mengagetkanku.

Dengan ragu tatapan kualihkan menuju sumber suara. Aku terdiam ketika melihat sosok Freza yang tengah menatapku dengan dingin.

Tatapan Freza begitu dingin, aura negative keluar dari tubuhnya membuat nyaliku menciut.

"Ada apa ini? Mengapa Freza bisa ada di sini? Ap apa yang harus gue lakuin?" Batinku menjerit histeris ketakutan melihat sosok Freza yang begitu menyeramkan.

"Ikut gue sekarang!" Freza berbalik kemudian mendorong kursi rodanya menjauh dari jangkauanku.

Dengan langkah yang gontai aku mengikuti Freza di belakangnya. Jantungku sudah berdetak tidak karuan. Memikirkan apa yang akan terjadi padaku nanti.

"Em, Fre Freza, ngapain lo di sini?" tanyaku berusaha untuk tetap tidak gugup di depannya.

Freza tidak menjawab, bahkan dia tidak menatapku ke belakang. Tatapan hangatnya tadi pagi tiba-tiba menghilang, aku merindukan sosok Freza pagi ini.

Tibalah kami di sebuah ruangan yang serba putih, aku tidak tahu ada tempat seperti ini di sini.

Freza terdiam di tempat, dia tidak menengok kepadaku. Membuatku menjadi salah tingkah sendiri, cukup lama kami terdiam satu sama lain.

"Za, lo kok ...."

"Lo hamil!?" Ucapanku terpotong oleh ucapannya Freza.

Aku terdiam membatu ketika mendengar Freza menanyakan hal itu. Satu yang tengah kupikirkan saat ini, Bagaimana bisa dia tahu secepat itu?

Freza membalikkan tubuhnya, dia melemparkan sejumlah kertas kepadaku. Kertas itu adalah hasil diagnosa tentang kehamilanku.

"Gue gak percaya kalo lo bakal ngelakuin hal ini. Ini emang pernikahan kontrak, tapi gak seharusnya lo bersikap seenaknya!"

Aku terdiam, dadaku sesak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Freza.

"Nggak Za, lo belum denger masal ...."

"Gue gak mau tahu! Gue kira lo mau berusaha buat jaga pernikahan kita, tapi lo malah enak-enakan sama pria lain sampe benihnya tumbuh di rahim lo! Bahkan wanita klub sekali pun gak bakal mau kalo dirinya hamil," ucap Freza.

Aku sudah tidak bisa menahannya, kedua mataku terasa perih dan mengalirkan air mata yang tidak dapat kubendung lagi.

Bahkan Freza membandingkan diriku dengan wanita klub. Apakah aku serendah itu di matanya?

Dengan cepat kuusap kedua pipiku yang basah. "Za! Lo udah keterlaluan, bahkan lo gak pernah tanya gue bisa kayak gini kenapa. Lo nyimpulin semuanya sendiri tanpa berpikir  peras ...."

"Lo yang gak pernah mikir perasaan orang! Gue gak peduli lo bohongin gue, tapi Mama? Bahkan lo gak pernah mikir Mama," potong Freza.

Kulihat sorot mata Freza yang menajam. Aku tidak pernah melihat sosok Freza yang marah seperti itu.

Aku tidak bisa berkata-kata kembali, Freza memelototiku kemudian pergi meninggalkanku sendirian di sana.

Rasanya aku sangat hancur, tangisanku pecah. Bahkan kini kakiku tidak kuat untuk berdiri, tubuhku jatuh ke lantai.

Aku menangis tersedu-sedu sendirian, mengutuk takdirku yang selalu buruk seperti ini.

Freza pasti tidak akan pernah memaafkanku. Dia tidak memberiku waktu untuk menjelaskan, kupikir Freza adalah pria yang berbeda.

Aku mengira jika Freza akan menjadi teman baikku. Namun ternyata, dia sama seperti yang lain.

"Apa yang harus gue lakuin sekarang?"

*

Setelah pulang dari rumah sakit, aku tidak berani untuk pulang ke rumah. Rasa takut itu masih ada, aku lebih memilih untuk pergi ke sebuah sungai dekat taman.

Kupandangi sungai itu yang hening sepi sunyi. Airnya tenang sekali, seolah tidak akan ada masalah yang akan dihadapi air itu.

Aku ingin menangis, berteriak begitu saja. Namun, ketakutan menyelimutiku. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku.

Bagaimana sikap Freza nanti? Apakah dia akan sama seperti dulu? Apa dia akan mendengar ceritaku?

Tidak terasa aku menangis dalam diam tanpa bersuara. Rasanya begitu menyesakkan dada, jika saja bukan Freza yang mengatakan hal itu.

Mungkin aku bisa menahannya dan menganggap itu hanya radio rusak. Namun, Freza yang mengatai diriku.

Freza—pria yang kucintai saat ini. Dialah yang telah membuatku jatuh cinta, padahal sikapnya biasa saja. Namun menurutku dia berbeda.

Pria itu sudah membuatku mengenal cinta bagaimana, tetapi aku harus dibuat sakit hati kembali.

Selama aku hidup, belum pernah aku mendapat perlakuan istimewa darinya. Dan ketika mendapatkannya, aku harus kembali terluka.

"Tuhan, kenapa harus kayak gini? Kenapa? Apa kebahagiaan gak pantes buat diriku?"

Kuusap wajahku dengan kasar, semuanya sudah selesai. Semangat hidupku sudah lenyap, tidak ada alasanku untuk tetap hidup kembali.

Langit sore ini begitu dingin, menusuk setiap tulang dan menggelitik kulitku sendiri.

Kutarik nafas panjang, kesunyian di taman ini membuatku ingin cepat mengakhiri hidupku.

Kupegang perutku yang masih rata, ada sedikit rasa tidak percaya jika saat ini aku tengah mengandung seorang anak di perutku.

Sebuah kehidupan yang harus kujaga, tetapi aku tidak sanggup untuk melakukannya.

"Nak, apa yang harus ibumu ini lakukan? Bahkan, tidak ada yang menginginkanmu sebelum lahir. Ibu harus bagaimana?"

Aku terisak oleh tangisanku sendiri. Kuusap kedua pipiku perlahan.

"Maafkan ibumu ini, Nak. Hukumlah Ibu nanti, Ibu tidak bisa melahirkanmu. Tidak ada yang menginginkan kehadiran kita di sini. Jadi, maafkan jika Ibumu sudah mengakhiri takdir hidupmu," tuturku yang langsung berdiri dan pergi dari taman itu.

Aku sudah terlalu muak jika hidup seperti ini. Tidak ada cahaya yang masuk di hidupku, satu-satunya cahaya sudah pergi meninggalkanku.

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang