18. Maafkan Aku

54 3 0
                                    

Mama membawaku pulang ke rumah. Mama mengatakan jika Papa datang berdua dengan Freza ke acara tadi.

Aku sedikit lega karena ternyata kedua mertuaku sudah tahu tentang situasiku. Hampir satu jam aku mengadu nasibku pada Mama.

Rasanya begitu lega, seluruh beban yang kupikirkan langsung menghilang begitu saja.

"Sayang, jika Freza mengatakan apapun jangan kamu dengarkan. Tidurlah di kamarmu sendiri, jika Freza mengusirku, maka beritahu Mama biar Mama langsung mengusir Freza pergi," ucapnya membuatku terkekeh geli.

Mama yang melihatnya menatapku dengan bingung. "Apa ada yang lucu?" tanyanya membuatku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Bukan begitu, Ma. Mama begitu memperhatikanku melebihi perhatian seorang mertua untuk menantunya," balasku dengan canggung.

"Tidak Sayang, Freza sudah puas dengan kasih sayang Mama. Bahkan terkadang dia muak menerima kasih sayang Mama yang begitu besar ini. Makanya, ketika kamu datang Mama begitu senang. Selain punya teman mengobrol yang sepaham dengan Mama, Mama juga punya putri yang begitu cantik dan manis," tuturnya membuatku tersipu malu mendengarnya.

Aku kembali bersandar pada Mama. Rasanya begitu nyaman, apalagi ketika mendengar Nama yang mulai menjelek-jelekkan putranya sendiri.

Hatiku sedikit terobati dengan Mama yang mengatakan jika seharusnya Freza bersyukur bisa menikahi gadis sepertiku.

Seharian ini begitu melelahkan, terlalu banyak kejadian  ha menimpaku membuatku sedikit mengantuk.

"Kalau kamu ngantuk, tidur aja ya. Tidak baik ibu hamil terlalu stress seperti ini," ucapnya membuatku mengangguk dengan lemah kemudian tertidur.

Aku merasa lega sekarang, tidurku terasa begitu nyenyak hingga ketika aku sadar aku sudah berada di kamarku sendiri.

Tatapanku tertuju pada kamar mandi yang sedikit berisik. Apakah Freza ada di dalam?

Aku tidak berani untuk bangkit dari tidurku. Aku hanya bisa menatap pintu kamar mandi yang secara tiba-tiba terbuka.

Karena terkejut aku segera menutup kedua mataku kembali berpura-pura tidur. Aku tidak mau Freza melihatku, apalagi setelah aku menamparnya dengan keras tadi.

Sebenarnya aku sedikit khawatir, aku tahu sifat Freza jika dia marah dia pasti akan mengatakan kebenciannya dengan melebih-lebihkan.

Akan tetapi aku tidak menduga diriku sendiri yang terpancing emosinya. Padahal aku sudah mengerti sikap Freza, dan bagaimana dia membuat orang kesal padanya.

"Gak perlu pura-pura. Gue tahu lo bangun," tuturnya membuatku sedikit mengeraskan suara dengkuranku.

Dalam hatiku, aku terus mengutuk Freza yang bisa dengan mudah mengetahui jika diriku sudah bangun.

Kurasakan sesuatu jatuh di pangkuanku sendiri. Aku ingin melihatnya, tetapi aku masih malu jika ketahuan berpura-pura seperti ini.

"Tuh obat buat lo, gue gak mau tidur sama monster yang matanya bengkak kayak gitu," tuturnya membuatku membuka kedua mataku perlahan.

Aku segera bangkit dan berpura-pura menguap. Seolah diriku baru bangun dari tidur, Freza yang melihatku seperti itu tersenyum dengan sinis.

Kutatap Freza, tepat ketika dia memalingkan wajahnya untuk menatapku. Aku melihat sebuah bekas berbentuk telapak tangan di pipi kanan Freza.

Aku tidak bisa menahan gelak tawaku, aku tertawa begitu kencang dan puas membuat Freza menatapku dengan tajam.

"Ketawa ya lo, udah buat gue kayak gini puas kan lo?" tanya Freza membuatku semakin tertawa dengan bebas.

Beberapa saat Freza menatapku dengan tatapan intimidasinya. Ntah mengapa aku sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu.

"Za, maaf ya kalau gue tadi nampar lo keras banget. Serius, gue gak beneran pengen nampar lo. Habisnya kata-kata lo buat gu–"

"Kagak usah dibahas. Gue muak kalau lo bahas itu," tuturnya memotong ucapanku.

Aku masih tidak mengerti dengan sikap Freza sekarang. Ada satu pertanyaan yang muncul di benakku, apakah kita sudah berdamai sekarang?

Kuputuskan untuk turun dari ranjang dan menghampiri Freza yang tengah memakai baju tidurnya.

Aku mengambil kotak obat di lemari dan menggerakkan kursi roda Freza untuk berhadapan denganku.

Freza hanya diam tidak berkomentar apa-apa. Hingga ketika aku berjongkok di hadapannya, Freza menatapku dengan tatapan bingung.

"Mau ngapain lo?" tanyanya dengan ketus.

Aku tidak membalas pertanyaan Freza, kuambil sedikit salep dan mengoleskannya pada pipi kanan Freza.

Ada rasa bersalah muncul dalam hatiku, sebanyak apapun kesalahan Freza tidak bisa membuatku untuk membencinya.

Aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya, dan aku tidak bisa mengendalikan perasaanku ini. Ya, aku sudah dibuat buta olehnya, padahal berkali-kali Freza melakukan banyak kesalahan.

Kutatap Freza yang menatapku dengan serius. "Lo anggap gue apa?" tanyanya membuatku tersenyum.

"Suami kontrak yang brengsek tapi gue suka. Selamat, lo udah buat gue suka sama lo, Za. Lo sampah pun gue bakal terima," tuturku membuat Freza mengernyit heran.

"Sampah kok ngomong sampah," balasnya membuatku memelotot tajam.

"Lo nembak gue ceritanya? Tapi gue gak bisa suka sama lo," tuturnya membuatku terdiam.

"Gue gak harap lo suka gue. Inget ya, gue udah punya anak. Gue gak pantes buat lo, Za. Emang bener kayaknya kita harus pisah," ucapku sambil berjalan menjauh dari Freza.

Freza tersenyum sinis, "Jadi lo mau pisah gitu? Terus Mama sama Papa gimana?" tanyanya membuatku terdiam mengernyit heran.

Sikap Freza benar-benar tidak bisa kumengerti sekarang. Bukankah tadi pagi dan sebelumnya dia bersikap kasar padaku? Lantas mengapa dia bersikap seolah tidak mau menceraikanku?

"Lo kan yang ngajak pisah," balasku dengan nada mengejeknya.

Freza terdiam, dia mendekatiku yang tengah duduk di tepi ranjang.

"Gue maafin lo, jangan sampai ngulang kesalahan ini lagi, paham?" tanyanya membuatku menatapnya dengan sinis.

Freza terdiam beberapa saat sebelum dirinya tertawa. Jujur aku tidak mengerti dengan jalan pemikirannya Freza, dia benar-benar tidak bisa ditebak.

"Za, lo punya kepribadian ganda, ya? Jujur ya. Gue gak bisa lupain lo yang marahin terus ngehina gue sebelumnya. Terus kenapa lo bisa santai sekarang, seolah-olah gak ada masalah yang terjadi?" tanyaku to the point.

Aku tidak ingin berbasa-basi untuk hal seperti ini. Karena menurutku Freza benar-benar aneh, bagaimana mungkin sikapnya tiba-tiba berubah seperti itu.

Freza memegang daguku dengan lembut, wajahnya mendekat perlahan dan berbisik di telingaku.

"Karena gue suka sama lo, Fiona!" ucapnya membuatku terkejut langsung menjauhkan diri.

"Lo pasti bohong, Za!" balasku sedikit teriak.

Aku langsung terbangun dari tidurku. Nafasku begitu memburu, kutatap ke sekeliling yang terasa begitu sunyi dan sepi.

Ternyata semua itu adalah mimpi, aku pikir aku benar-benar mengobrol dengan Freza.

Kuusap wajahku dengan gusar, mimpi tadi terasa begitu nyata. Tidak tahu mengapa aku bisa segera bangun dari mimpi tadi.

Kamar ini begitu sunyi dan sepi, kutatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua malam.

Aku sedikit khawatir pada Freza, karena sampai dini hari dia belum pulang. Ataukah, Freza pergi ketika aku tertidur tadi?

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang