Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku.
Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku.
Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari.
Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza.
Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku.
Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor.
Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku.
Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak menghampiri pintu kamar dan membukanya.
"Mama?" Aku tersenyum melihat sosok wanita paruh baya berdiri di hadapanku.
"Fiona, kamu sudah bangun ternyata. Tadi Freza bilang kalau hari ini kamu datang ke kantornya," ucap Mama membuatku berdenyit heran.
"Mas Freza yang menyuruhku, Ma?" tanyaku dengan hati-hati.
Mama mengangguk kemudian tersenyum dan berlalu pergi. Dalam hatiku bertanya-tanya, apa yang diinginkan oleh Freza sebenarnya.
Aku hanya menggidikkan bahuku tidak peduli, berlenggang masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Mungkin Freza membutuhkan bantuanku kembali, makanya menyuruh datang ke kantor.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk aku bersiap, setengah jam kini aku akan berangkat ke kantor Freza.
***
"Fiona?" Langkahku terhenti ketika mendengar suara yang begitu familiar denganku.
Kubalik tubuhku ke belakang. Betapa terkejutnya aku mendapati Kak Alvian—sahabat karibku semasa kecil.
"Kak Al?" Kedua mataku membulat sempurna, hatiku sedikit berdesir. Hampir delapan tahun aku tidak bertemu pria itu, dan kini Kak Alvian berada di hadapanku.
"Kakak kemana aja? Fiona rindu banget sama Kakak," ucapku sedikit terisak. Tanpa sadar bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipiku.
Kak Alvian membulatkan matanya, dia segera mendekati diriku kemudian mengusap air mataku yang jatuh.
"Jangan menangis, Sayang. Sekarang bukankah kamu melihat Kakak kesayanganmu di sini?" tanyanya membuatku lantas memeluknya erat.
Aku ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi aku masih sadar dan merasa malu jika menangis di tempat umum seperti ini.
Kak Alvian sudah kuanggap seperti kakak laki-lakiku sendiri. Saat aku merasakan sedih, dia lah yang selalu menjadi obat lukaku, tetapi delapan tahun silam Kak Alvian tiba-tiba menghilang begitu saja.
"Kakak, banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Kakak. Namun, aku harus bertemu dengan seseorang terlebih dahulu. Janji tidak akan meninggalkan Fiona?" tanyaku sambil menunjukan jari kelingkingku.
Kak Alvian tertawa, dia mengusap lembut kepalaku dan mengaitkan jari kelingkingnya padaku.
"Kakak, janji. Baiklah, Kakak pergi dulu," ucapnya kemudian mengecup kepalaku lembut dan berlalu pergi.
Aku tersenyum melihatnya yang semakin menjauh. Punggungnya kemudian menghilang seiring dengan kehampaan yang mulai mengisi hatiku kembali.
Aku pasrah dan bergegas pergi dari tempat itu menuju ruang kerja Freza. Hari ini, aku disuruh untuk mengunjunginya tidak tahu kenapa.
Kakiku melangkah masuk ke dalam dan melihat Freza yang tengah memasang wajah masam. Ada apa dengannya pagi ini? Wajahnya terlalu masam sampai aku menjadi penasaran.
"Ngapain masang muka masam gitu? Gak enak banget dilihatnya," tuturku membuat Freza berdecih kesal.
Freza memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak menghiraukan kedatanganku di sini.
Aku merasa heran, tumben sekali dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya fokus bekerja. Bukankah dia yang memintaku datang kemari? Lantas, mengapa aku dicuekkan di sini?
"Ada apa manggil gue ke sini? Mau ngajak ribut? Gak usah di kantor segala kali, males banget dateng ke sini," ucapku sambil melipat kedua tanganku di dada dan bersandar pada sofa tunggal di belakangku.
Freza menarik bibirnya tersenyum sinis. "Bohong kamu bilang gak suka, buktinya sampe nangis dan pelukan sama cowok lain di kantor. Itu yang kamu maksud tidak suka datang ke kantor?"
Kedua mataku memelotot, bagaimana Freza bisa mengetahuinya sedetail itu? Aku sungguh sangat malu karena tadi menangis, apakah Freza akan menertawakan ku karena aku menangis?
"L lo hati-hati ya kalau ngomong, itu bukan urusan lo juga," balasku tidak mau kalah.
"Yaa, memang kita menikah kontrak. Tapi kalau mau selingkuh gak usah di tempat umum juga, gimana sama karyawan di sini yang lihat?" tanya Freza kembali membuatku mengerutkan dahi.
"Apa maksud lo?" tanyaku tidak mengerti.
"Kamu selingkuh kan sama Alvian? Dia apa sih, bisa-bisanya kamu mau sama dia yang cuman karyawan biasa. Padahal suamimu itu kaya, CEO muda, malah diselingkuhin," tutur Freza membuatku semakin membulatkan mataku terkejut.
"Heh! Enak aja ngomong selingkuh, siapa yang selingkuh!?" bentakku tidak terima.
Benar-benar keterlaluan, mengapa Freza menyudutkanku dengan mengatakan aku selingkuh? Hatiku merasa sakit mendengar penuturannya yang main asal bicara saja.
"Apa kamu perlu bukti? Saya lihat dengan jelas kamu pelukan sama Alvian di depan lift tadi, pake kamu nangis segala lagi. Sebegitu cintakah kamu sama dia?" tanya Freza beruntun.
Kupijat kepalaku lembut, rasanya sangat pusing mendengar celotehan Freza yang mendadak berubah.
Baru saja aku menarik nafas untuk menjawab dan menjelaskan apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Kutatap Freza yang tengah menatap datar leptop di depannya dengan mulut yang mengerucut ke depan.
Dia cemburu? Batinku bertanya-tanya. Bisa-bisanya dia cemburu dengan pria lain, padahal pernikahan ini tidaklah lebih dari saling memanfaatkan saja.
Terpintas ide cemerlang untuk menjahilinya, moodku menjadi semakin bagus kala memikirkan ekspresi wajah Freza saat aku membohonginya.
"Hei, apa lo pengen tahu siapa dia?" tanyaku perlahan mendekatinya hingga kini berdiri di sampingnya.
Freza memalingkan wajahnya menatapku. Aku ingin sekali tertawa terbahak-bahak di depannya, pasalnya Freza sampai menghentikan aktivitasnya agar bisa menyimak ucapanku dengan baik.
"Freza sebelumnya maafkan aku, maaf karena telah mengecewakanmu. A aku," ucapanku terhenti dan berubah memasang wajah sedih sekali, padahal hatiku sedari tadi menjerit menertawakan ekspresi Freza.
Lihatlah sekarang, kedua mata Freza membulat sempurna. Rasanya sangat lucu, aku ingin terus menggodanya.
"Katakan, apa?" tanya Freza membuatku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Di dia ... ka kamu ... kepo banget sih!" balasku kemudian tertawa terbahak-bahak. Aku segera menjauh dari Freza, rasanya tawaku pecah dan tidak bisa ditahan.
Apalagi melihat ekspresi Freza yang memucat dan menegang. Sepertinya dia tengah menahan emosinya menggelonjak di dalam tubuhnya sekarang.
"Owh, kamu mau bermain sama saya, ya? Baiklah, saya akan mengabulkan keinginanmu itu," ucapnya membuatku terdiam dan menatapnya dengan tatapan bingung.
Apa yang akan dilakukan Freza? Tunggu, mengapa bahasanya menjadi baku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Priaku di Kursi Roda
RomanceTidak tahu apa yang terjadi, tetapi sekarang aku sudah menjadi istri dari seorang pria kursi roda! Tiada yang ku permasalahkan dari pernikahan ini. Namun, diriku bukanlah gadis lagi! Bagaimana aku menjalankan pernikahan? Aku harap ini hanya sebatas...