04. Mendadak Romantis

156 9 2
                                    

Aku terdiam sesaat sebelum tawaku pecah memenuhi ruangan. Bahkan, Freza pun sampai menutup kedua telinganya. Kuusap kedua mataku lembut, lihatlah mataku sampai berair dibuatnya.

"Haduh, sakit pipi gue, lagian kenapa juga lo mau nikah ama gue?" tanyaku untuk ke sekian kalinya. Berusaha mencari tahu tujuan sebenarnya Freza menikahiku.

Freza hanya menatapku datar kemudian melanjutkan aktivitasnya. Dia tak sedikit pun menggubris perkataanku. Freza benar-benar menyebalkan, lihat saja aku akan membalasnya nanti.

Aku berbalik dan berjalan menjauhi Freza, untuk saat ini aku tak mau menganggunya. Sekarang aku harus mengerjakan pekerjaanku. Ya, pernikahan kemarin telah membuatku menjadi miliader dalam sekejap.

Tugasku sebagai seorang isteri yang baik adalah menghabiskan harta suami. Akan kuhabiskan dengan cara baik pula, hoho aku akan membelanjakan semua keinginanku yang sempat tertunda.

Kan kuhabiskan hartanya, walaupun tubuhku di sini, tetap saja hatiku tengah melayang ke sebuah butik. Tanganku terus bergerak dengan cepat, menelusuri setiap jenis pakaian yang terbaru.

Kedua mataku berbinar bahagia, rasanya ingin berteriak kegirangan karena berhasil mendapatkan apa yang kumau. Tiba-tiba aku merasakan aura aneh berasal dari samping kiri.

Segera aku menatap ke samping dan menemukan Freza tepat duduk di sana. "Woi, lo ngagetin tau!? Apaan si, tiba-tiba muncul di sini," sungutku geram.

Freza benar-benar mengagetkanku, tidak tahu sejak kapan dia sudah duduk di sampingku. Jantungku hampir dibuat jatuh ke angan oleh Freza.

"Biasa aja dong tu muka, kek gak pernah liat cowok cakep aja," ejek Freza membuatku semakin kesal.

Aku merenggut, "Emang susah kalo ngomong sama orang gila, lo mau ngapain ke sini? Gue gak ganggu ya, lo yang dateng ke sini nyamperin gue duluan," ucapku membuat Freza menutup telinga.

Sangat jelas jika aku berbicara dengan sedikit teriak, aku terkekeh geli. Karena kesal dikejutkan Freza, aku sampai berteriak. Padahal jarak kami begitu dekat, pantas saja Freza menutup telinganya.

"Jadi lo ngapain di sini?" tanyaku netral. Tak seperti sebelumnya berteriak.

"Bosen, kerjaan dah beres semua," balas Freza singkat. Aku terdiam cukup lama, walau demikian hatiku terus merutuki Freza yang bodoh.

Sejak pernikahanku dengan Freza, aku tak pernah ingin tahu tentangnya. Bagaimana pekerjaannya, kesibukannya, atau apapun itu. Namun, sekarang Freza mengatakannya tanpa ku minta.

Ekspresi wajahku begitu datar, mood-ku hancur seketika saat Freza datang. "Maaf nih ya, gue gak peduli sama kerjaan lo. Ya kalau dah beres bagus dong, gue bisa pulang berarti," ucapku santai yang mendapat pelototan Freza.

Aku mengernyit heran, ada apa dengan Freza? Mengapa dia melayangkan pelototan padaku? Kuingat kembali kata-kataku, tidak ada yang salah atau pun menyinggungnya. Lalu kenapa Freza seperti marah padaku?

"Jadi, lo mau apa?" tanyaku akhirnya karena takkunjung mengerti apa yang Freza inginkan.

Freza tersenyum smirk, "Mau ikut gue nggak? Gue mau nunjukin sesuatu sama lo," ucapnya berhasil membuatku tertawa.

Ya, aku menertawakan sikap Freza yang berubah drastis. Hantu apa yang merasukinya sehingga dia bersikap romantis seperti ini? Freza hanya terdiam menatapku datar.

"Gue serius, lo mau ikut nggak?" tanya Freza lagi membuatku membungkam.

Aku menatap wajahnya intens, kutelusuri apakah dia tengah berbohong apa serius padaku. Dan sedikit pun aku tak menemukan celah jika Freza hanya bercanda.

"Lo, lo bener ngajak gue jalan gitu? Tumben, ada apa emang? Mama kan gak ada, gak perlu sok romantis di hadapan gue. Aneh tau lihat lo yang beda gini, berasa kek bukan lo," sungutku berusaha untuk tidak percaya dengan perubahan sikap Freza.

Freza tampak berdecak kesal membuatku semakin bingung. Apakah aku yang bodoh atau Freza yang gila? Ntahlah, menurutku keduanya benar.

"Tadi lo tanya gue soal alasan gue nikahin lo, kan? Nah gue akan jawab tapi sebelum itu, gue mau tunjukin sesuatu ke lo," tutur Freza.

Aku mengangguk mengerti, ternyata ini toh yang ingin Freza katakan. Mengapa dia mengatakan hal itu saja sangat susah sih. Membuatku merana saja karena ucapannya.

"Lo mau nggak?" Freza menatapku kesal. Aku terkekeh geli, Freza sangat tidak sabaran sekali. Aku kan tengah asyik berdialog dengan hati.

Aku mengangguk pelan, "Boleh, lagian gue juga gak ada kerjaan sih," balasku santai.

Kubantu Freza naik ke kursi roda, lalu kudorong keluar untuk pergi. Dari perjalanan ke kantor sampai ke tempat yang dimaksud Freza, tidak ada percakapan antara kami.

Freza dan aku sama-sama menikmati ramainya jalan kota. Namun, ada satu yang menganggu pikiranku. Mengapa mobil ini terus berjalan? Kemana Freza akan membawaku?

"Za, lo mau bawa gue kemana?" tanyaku khawatir. Tidak tahu mengapa aku berpikir yang aneh-aneh sekarang.

"Kenapa? Lo takut?" tanya Freza balik membuatku berdecak kesal.

"Ck, tinggal jawab aja malah balik nanya," sungutku emosi. Namun, Freza hanya terkekeh geli, setelah itu tak ada percakapan lagi.

Sungguh aku tersiksa dengan keadaan canggung seperti ini, mengapa juga aku mau diajak pergi oleh Freza. Sesaat aku merutuki sifat kepoku sendiri, termyata benar terlalu peduli itu tidak baik.

Mobil terus berjalan hingga sampai perbatasan kota, aku terheran-heran. Janutungku sudah berdegup dengan kencang, hatiku tak tenang karena tidak tahu diri ini akan dibawa kemana.

Kuusahakan untuk tetap tenang, aku tidak mau jika terus berpikiran buruk tentang Freza. Dia pasti tidak akan melukaiku, aku yakin itu. Namun, setelah memasuki daerah pedesaan, aku semakin tak yakin dengan keyakinanku sebelumnya.

Pasalnya, tempat ini adalah tempat di mana masa lalu terburukku terjadi. Kutatap Freza yang tampak biasa saja menatap lurus ke depan.

Apa yang tengah direncanakan Freza? Aku takbisa menahannya kembali. Tanganku sudah bergetar ketakutan, malam kelam itu terus menghujani ingatanku. Tak membiarkan aku menarik napas lega sebentar saja.

Tuhan, apa yang akan terjadi padaku nanti, kucoba untuk berusaha tenang. Ya, aku tak mau Freza tahu aku gelisah sekarang, jika tidak rahasiaku akan terbongkar.

Mobil kami berhenti tepat di depan sebuah villa mewah. Freza menyuruhku untuk keluar begitu juga dengan dirinya.

Hatiku sudah merasa tak nyaman, bagaimana bisa aku datang kembali ke tempat masa lalumu yang suram ini.

Apa yang harus kulakukan? Aku ingin segera pergi, sedari tadi jantungku berdetak dengan kencang. Ingatan masa lalu kelam itu datang menyelimuti pikiranku.

"Za, ngapain sih lo bawa gue ke sini?" tanyaku berusaha untuk bersikap baik-baik saja di depan Freza.

Freza tersenyum, "Apa lagi? Kita bakal bulan madu di sini. Apakah istriku tidak ingin menghabiskan waktu bersama dengan suaminya?"

Mataku terbelalak tak percaya mendengar penuturan Freza. "Hah?" Kutatap Freza dengan seksama. Menelusuri apakah dia tengah berbohong apa serius.

Freza terkekeh geli, "Kita akan berbulan madu, Sayang. Makanya ngajak ke sini juga," ucapnya seolah mengerti denganku.

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang