"Kalian berdua cukup hentikan!" pintaku menatap ke arah Freza dan Kak Alvian bergiliran.
"Fiona, Kakak hanya ingin mengatakan padamu kalau Kakak suka sama kamu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tetapi Kakak benar-benar dengan perasaan Kakak terhadapmu," ucap Kak Alvian membuatku menatapnya tidak percaya.
"Be benarkah?" tanyaku dibalas dengan anggukan dan senyuman tulus dari Kak Alvian.
Freza menggertak gigi kesal, dia sampai memukul meja membuatku terkejut karena ulahnya yang tiba-tiba menjadi ganas seperti itu.
"Saya akui keberanian anda menyatakan cinta pada istri saya di hadapan saya sendiri, tetapi anda perlu mengingat jika anda tengah menyatakan pada seorang istri atasan anda sendiri," tutur Freza membuat Kak Alvian menatapnya datar.
Persaingan ini tiba-tiba sekali, mengapa mereka berdua memperebutkanku? Dan juga, aku baru mengetahui perasaan Kak Alvian yang sebenarnya.
"Aku harus membawamu pergi dari sini, mari Sayang kita pergi dari sini. Ada banyak hal yang perlu kita lakukan," tutur Freza mengenggam tanganku lembut.
Kutatap Freza yang tersenyum ramah menatapku, seolah tersihir oleh tatapannya aku langsung menuruti kemauannya.
Aku berdiri, kemudian mulai mendorong kursi roda milik Freza. Dengan berbisik aku meminta maaf pada Kak Alvian atas keributan ini.
Kak Alvian tersenyum, dia kemudian berteriak. "Aku akan tetap selalu mencintaimu, Fiona. Dalam keadaan lengah, aku akan merebutmu darinya."
Aku mematung di tempat karena Kak Alvian berani sekali mengutarakan perasaannya di hadapan semua orang.
"Jangan menoleh ke belakang dan tetap berjalan," pinta Freza membuatku mengurungkan niat untuk menatap ke belakang.
Kubawa Freza masuk ke dalam mobil, kemudian menyusul Freza masuk ke dalam mobil.
Dari berjalannya mobil sampai kami tiba di rumah, Freza tidak mengatakan sepatah kata pun. Bahkan saat turun, dia dibantu oleh sekretarisnya bukan olehku.
Membuatku bertanya-tanya apa yang terjadi pada dirinya? Sikapnya berubah-ubah seperti ini, membuatku sulit menarik sebuah kesimpulan.
"Nyonya, anda sudah pulang?" tanya Rista sambil membungkuk di depanku sendiri.
Aku hanya mengangguk tanpa menjawabnya lalu mengikuti Freza pergi masuk ke dalam kamar. Setelah masuk, aku segera mengunci pintu agar tidak ada siapapun untuk masuk ke dalam.
"Lo kenapa dah?" tanyaku menatap Freza yang lebih banyak terdiam. Dia masih tidak menjawab pertanyaanku.
Sedari tadi aku menyaksikan Freza mencari pakaiannya sendiri kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Dia bahkan tidak menganggap kehadiranku di sini.
Kutunggu Freza sambil membaca majalah di ranjang. Aku sudah mengganti pakaianku di kamar sebelah.
Hingga ketika pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Freza yang tanpa memakai sehelai apapun di bagian atas tubuhnya.
Otot-otot Freza terlihat kentara dengan enam kotak yang ada di tubuhnya. Aku mengangumi tubuh atletis milik Freza, dia pasti rajin berolahraga.
"Gak usah ditatap mesum gitu, masih sore belum malem," tuturnya membuatku tersadar apa yang tengah kupandang.
Kedua pipiku merona merah, ntah kenapa kedua mataku langsung tertuju padanya.
"Ish, bukan ini yang harus kita bahas. Lo kenapa sih? Gue sampe bingung sama perubahan sikap lo tadi di kantor," ucapku komplain atas sikap Freza yang berubah-ubau dalam sekejap waktu.
"Itu gak penting, lagian ini pernikahan kontrak. Kagak perlu dibahas sampe serinci itu," balas Freza membuatku kesal setengah mati.
Aku merasakan sakit hati mendengar perkataan Freza yang dengan santainya membalas seperti itu.
Tiba-tiba saja kedua mataku berkaca-kaca mendengarnya, padahal hatiku sudah senang bukan main. Namun Freza menghancurkan rasa senangku itu dengan fakta yang tak akan pernah bisa aku lupakan.
"Lo buat gue kesel, Freza! Gue gak ngerti sama perasaan lo! Kadang lo perhatian banget, tapi kadang lo juga ngingetin kalo ini pernikahan kontrak. Apa lo gak bisa bersikap netral memangnya? Kenapa harus peduli? Gue kesel, gue kesel karena lo yang buat gue sulit buat mikirin cowok lain!"
Semua unek-unekku kukeluarkan begitu saja, rasanya sangat menyesakkan dada ketika mengingat semuanya.
Aku menganggap jika Freza perlahan membuka hatinya untukku sendiri. Ya, aku akui jika aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada Freza, padahal perlakuan Freza tidaklah spesial. Namun aku merasa ada ketulusan di sana, makanya ketika mendengar Freza mengatakan pernikahan kontrak hatiku hancur.
"Gue benci lo! Gue nyesel nikah sama lo!" teriakku kemudian melemparkan bantal ke arah Freza dan kabur begitu saja meninggalkan kamar.
Hatiku terlalu sakit, aku tidak bisa membendung air mataku ini. Aku berlari keluar rumah, mengambil kunci mobil dan kemudian mengendarai mobil keluar dari rumah.
Rasanya tidak bisa kuutarakan, sakit sekali hatiku ini dibuat oleh Freza. Aku merutuki diriku sendiri yang malah jatuh cinta pada Freza, padahal sudah tahu jika lelaki itu tak mungkin akan menerima cintaku ini.
Aku terlalu berpikir hal baik, jika suatu saat nanti Freza akan menerimaku dengan sepenuh hati.
Kejadian di kantor benar-benar membuatku senang, untuk pertama kalinya aku diperlakukan dengan baik oleh seorang pria.
Dengan lantang Freza mengakui pernikahan kami di depan orang lain, dan itu berhasil membuatku semakin menyukainya.
Aku memberhentikan mobil di tempat yang agak sepi, kupukul setir mobil bertubi-tubi sambil merutuki Freza dengan umpatan-umpatan.
Kuusap kedua mataku yang sudah basah, aku menyesali diriku sendiri yang sudah menganggap hal ini terlalu berlebihan.
"Okey, Fiona. Ini bukan apa-apa, lekaslah pulang dan bersikap biasa saja. Tidak ada yang perlu ditangisi, memang sialan Freza itu bisa-bisanya menolak cintaku," ucapku berusaha menguatkan diri sendiri.
Aku menunggu beberapa menit sebelum pulang, menetralkan kembali isi kepala dan hatiku. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di depan Freza, aku takut jika pria itu akan mengolok-olokku nanti.
Setelah lima belas menit baru aku pulang ke rumah, kebetulan hari sudah petang dan tengah hujan badai.
Aku sedikit kesulitan membawa mobil di tengah hujan deras seperti ini, tetapi beruntunglah aku bisa sampai ke rumah dalam keadaan selamat.
Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam, kulihat Freza yang tengah duduk di kursinya menatapku, seolah seperti menyambut kedatanganku.
Aku tidak bisa menatapnya langsung, rasa malu masih kurasakan setelah kejadian tadi. Dengan langkah cepat aku mencoba menghiraukan keberadaan Freza dan berlalu pergi meninggalkannya.
Akan tetapi baru saja aku melewatinya tangan Freza sudah menarikku, sehingga aku duduk di pangkuannya.
Kedua netra kami bertemu, jantungku sudah berdetak tidak karuan.
"Syukurlah tidak kehujanan, kalau gitu kita makan malam sekarang saja," ucap Freza membuatku tersadar kembali.
Aku menunduk diam, tidak banyak bergerak. Freza membawaku ke ruang makan, aku sedikit kebingungan karena sikapnya ini.
"Kenapa dia harus bersikap lembut padaku? Aku tidak mau terjatuh lebih dalam padanya," ucapku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Priaku di Kursi Roda
RomansaTidak tahu apa yang terjadi, tetapi sekarang aku sudah menjadi istri dari seorang pria kursi roda! Tiada yang ku permasalahkan dari pernikahan ini. Namun, diriku bukanlah gadis lagi! Bagaimana aku menjalankan pernikahan? Aku harap ini hanya sebatas...