16. Talak dari Freza

59 3 0
                                    

Kutarik nafas panjang, rasanya begitu berat sekarang. Kuputuskan untuk berjalan tidak tahu harus kemana.

Kuikuti kakiku melangkah kemana dia mau. Hingga ketika tengah berjalan, sebuah mobil berhenti tepat di sampingku.

"Fiona Sayang?" Suara itu membuatku membatu dengan sempurna.

Perlahan kutatap wajah seorang wanita paruh baya yang mendekatiku.

"Mama? Kapan Mama pulang ke sini?" tanyaku terkejut ketika melihat ibunya Freza sudah pulang dari perjalanan dinas ayahnya Freza.

Mama tersenyum melihatku, dia mengelus lembut kepalaku. "Nak, kamu kenapa sendirian di sini? Ayo pulang, Mama akan memarahi Freza karena tidak menjemputmu pulang!" ucapnya sambil menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya.

Aku terkejut sekali ketika melihat ada Papa di sana juga. Dia hanya mengulas senyumnya kepadaku dengan lembut.

Situasiku tidak terduga sekarang, mengapa aku harus pulang ke rumah di saat suasanaku dengan Freza tidak baik?

Dan mengapa tiba-tiba aku harus bertemu dengan Mama dan Papa? Apakah ini sebuah kebetulan yang disengaja atau bagaimana?

Selama di perjalanan, tidak ada obrolan yang kami lakukan. Namun, sikap Mama menjadi lebih lembut padaku.

Dia memeluk pinggangku dengan menaruh kepalaku di bahunya untuk bersandar.

Aku ingin menangis sekarang, sikap mereka begitu lembut. Dalam hatiku bertanya, akankah Mama dan Papa akan menerimaku lagi? Ketika mengetahui aku tengah mengandung anak yang tidak jelas ayahnya.

Hingga kami sampai di rumah, jantungku kembali berdetak dengan cepat. Aku begitu takut untuk menginjakkan kakiku di rumah ini kembali.

Aku takut jika Freza akan mengungkapkan rahasiaku kepada Mama dan Papa, lalu aku harus kembali merasa sakit hati.

"Fiona Sayang, ayo kita masuk. Kenapa kamu masih berdiri di sana?" tanya Mama membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum dengan kikuk, kemudian berjalan dengan pelan-pelan. Kedua mataku menatap sekitar, dan menangkap sebuah mobil Freza.

"Dia ada di rumah! Sekarang harus gimana?" tanyaku dalam hati.

"Freza! Mama sama Papa pulang, Sayang," ucap Mama berteriak membuatku ketakutan sendiri mendengarnya.

Kulihat Freza keluar dari ruangan kerjanya dengan asistennya yang mendorong kursi roda tuannya.

Aku tidak berani untuk menatap Freza, tetapi rasa penasaranku mengalahkan segalanya.

Perlahan kuangkat wajahku untuk menatapnya. Seolah dibius, aku tidak bisa mengalihkan tatapanku pada Freza yang juga tengah menatapku dengan tatapan tajam.

Tatapan Freza membuatku teringat dengan kejadian di rumah sakit tadi. Tidak tahu mengapa air mataku jatuh kembali, seiring dengan jantungku yang berdetak dengan cepat.

"Ma, Pa. Fiona pamit duluan ke kamar," tuturku yang langsung pergi dari tempat itu.

Aku tidak mau bertemu dengan Freza terlebih dahulu. Hatiku masih terasa sakit karena sikap Freza yang acuh sebelumnya, dan tidak mau mendengarkan alasanku.

Kuputuskan untuk pergi ke kamar tamu. Mungkin, dari sekarang aku tidak akan satu kamar dengan Freza.

Beruntung mansion milik keluarga Wardhana sangat besar dan memiliki banyak kamar serta ruangan lainnya. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk berpindah kamar dari kamar utamaku.

Setelah aku masuk, aku hanya bisa bersandar pada pintu dengan kaki yang melurus ke depan.

"Aku harus apa sekarang? Apakah Freza akan menceraikanku? Lalu bagaimana dengan pandangan Mama padaku?"

Kutarik nafas panjang, rasanya begitu berat jika harus melewati masa ini. Sebenarnya aku tidak mau jika harus bercerai dengan Freza, hanya dia yang bisa membantuku dan bisa kupercaya selama ini.

Tok tok tok

Sebuah ketukan pintu membuatku segera berdiri dan membukanya. Ternyata Mama, jantungku kembali berdetak dengan cepat.

Tatapan Mama begitu sayu, aku tidak mengerti. Apakah Freza sudah memberitahu Mama soal kehamilanku?

"Mama, Fiona kaget Mama datang ke sini," ucapku dengan menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Sayang, kamu lagi bertengkar sama Freza? Biarkan dia. Jangan dengarkan ucapannya, kamu tetap jadi menantu Mama yang terbaik," ucapnya membuatku tersenyum dengan kikuk.

"Andai saja Mama tahu aku tengah mengandung anak orang lain, apakah Mama akan mengatakan hal yang sama?" tanyaku dalam hati.

"Sayang, nanti malam ada acara yang harus kamu dan Freza hadiri. Mama akan datang dengan Papa sedikit terlambat, ini hal bagus untuk membuat kalian rukun kembali. Mama tidak suka kamu bermusuhan dengan Freza terlalu lama," ucap Mama membuatku terdiam.

Aku benar-benar terkejut, kenapa harus hari ini? Bahkan, tadi Freza menatapku dengan tajam. Lalu sekarang aku harus menghadiri sebuah acara bersamanya? Sepertinya, nyawaku sudah hilang.

"Fiona lagi gak enak badan, Ma. Kalau Mas Freza berangkat sendiri gak papa?" tanyaku dengan sedikit terbatuk-batuk—berpura-pura tidak berdaya di hadapan Mama.

Mama menggelengkan kepalanya, "Kamu harus ikut, Sayang. Jangan meninggalkan Freza. Bukankah ini waktu yang tepat untuk berbaikan? Freza begitu keras kepala, tetapi dia tidak akan keras pada istrinya," tuturnya membuatku tersenyum.

"Aku juga ingin seperti itu, Ma. Namun, aku tidak memiliki kuasa di hadapan Freza karena masa laluku," balasku dalam hati.

Mama mengusap kepalaku lembut, "Kamu siap-siap sana, Freza sudah menunggumu di depan," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

Setelah Mama pergi, tanpa sadar air mataku jatuh kembali. Hatiku benar-benar tersayat melihat Mama seperti itu.

"Apa yang harus kulakukan, Ma? Bahkan untuk mengatakannya begitu sulit, aku tidak bisa mengatakan jika aku sudah membohongi putra Mama," tuturku membatin dalam hati.

Aku hanya bisa meratapi dan menebak-nebak takdir apa yang datang padaku. Sambil berharap, semoga ada takdir baik yang menghampiriku.

*

"Ma, Fiona dan Mas Freza berangkat duluan. Mama benar akan datang, kan?" tanyaku menatap Mama yang hanya mengulas senyum dan sedikit mengangguk.

Aku tidak tahu perlakuan Mama akan masih sama atau tidak, tetapi sekarang hanya Mama yang kuharap bisa menjadi pelindung untukku.

Kakiku melangkah masuk ke dalam mobil, kulihat Freza sudah di dalam. Wajahnya melihat ke arah jendela sana, enggan menatap wajahku.

Jantungku kembali berdetak dengan cepat, kejadian siang tadi di rumah sakit terus menerus terngiang-ngiang di kepalaku.

"Tenangkan diri lo, Fiona. Anggap semua tidak terjadi," ucapku dalam hati menyemangati diriku sendiri.

Mobil berjalan dan sepanjang perjalanan tidak ada obrolan di antara kami. Membuatku semakin gugup, aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.

Hingga ketika mobil sampai, Freza takkunjung keluar dari mobil. Membuatku bertanya-tanya, tetapi kuputuskan untuk aku yang keluar terlebih dahulu.

"Besok surat cerai kita akan keluar. Gue gak mau terjebak sama drama yang lo buat nanti," tutur Freza membuatku mematung di tempat.

Air mataku jatuh, hatiku berdenyut dengan sakit dan jantungku berdetak dengan cepat.

"Cerai? Ha–haruskah kita bercerai?" tanyaku menatap Freza yang masih mempertahankan egonya untuk tidak menatap wajahku.

Feza tersenyum sinis, akhirnya dia mau menatap wajahku dengan tatapan tajamnya.

"Gue nyesel nikah sama lo, bahkan wanita malam pun ada harganya daripada lo. Makanya pernikahan kita cuman sampai sini aja," tutur Freza membuatku terdiam membeku.

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang