10. Aku Mencintaimu?

99 3 0
                                    

"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.

Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak.

Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku.

"Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku.

Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku.

"Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi.

Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar.  Aku yang melihatnya menjadi bingung.

"Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk membangunkanku saja?

"Lah, lo masih gak paham? Gue disuruh bangunin lo sama Mama. Ayo, lapar nggak? Gue sih lapar pengen makan," balas Freza kemudian berangsur pergi.

Mendengar penuturan Freza aku langsung menyusulnya. Perutku juga sudah lapar, akan lebih baik kumakan sekarang.

Saat sampai di ruang makan, yang kulihat hanya Freza saja berdua dengan sekretarisnya.

"Loh, tadi katanya Mama manggil? Sekarang Mama mana?" tanyaku sambil duduk di samping Freza.

Freza merenggut, "Sejak kapan gue bilang Mama manggil? Tadi gua cuman ngomong disuruh bangunin lo sama Mama," balas Freza sinis.

Saking sinisnya, membuat mood makanku hilang. Freza sangat sewot sekarang, aku bertanya saja jawabannya malah ngegas.

Segera aku mengambil lauk dan nasi, menghiraukan tatapan Freza yang menatapku dengan aneh.

Aku tidak mempedulikannya, sekarang tujuanku sehabis makan akan tiduran sepanjang hari di kamar.

Freza hanya menggelengkan kepalanya, tidak tahu apa yang dia pikirkan.

***

Kutatap Freza yang tengah asyik membaca dokumennya. Mulutnya sedikit terbuka, membacakan setiap kata yang terangkum dalam dokumennya. Kacamata putih terlihat menggantung di hidungnya Freza, tampak sangat tampan.

“Daripada liatin gue, mending bantu sini. Banyak banget yang harus gue baca,” ucap Freza membuyarkan lamunanku.

Aku terdiam datar menatap Freza, kuhampiri pria itu yang tengah duduk di kursi rodanya tak jauh dengan jarakku. “Emang lo mau minta tolong apa? Yakin bener gue bisa bantu,” balasku santai.

“Yee, lo kan sekarang istri gue. Tinggal bantu tanda tangan aja, wakilin gue,” sungut Freza sambil berdecik kesal.

Aku terkekeh geli mendengarnya, tumben sekali Freza bersikap layaknya seorang suami.

Biasanya dia tidak melakukan hal ini, tetapi sekarang dia melakukannya. Menganggapku sebagai seorang isteri, aku berpikir apakah sikapku tadi sedikit mempengaruhi pikirannya? Sepertinya begitu, makanya sekaranf Freza membutuhkan bantuanku sebagai seorang istri.

“Jangan kebanyakan ngebatin, ayo sini bantu gue,” ucap Freza kembali dengan sarkas. Aku sedikit gemas dibuatnya, Freza sungguh sangat manis sekarang.

“Iya, baiklah. Aku hanya tinggal membubuhi tanda tanganku, kan? Memangnya itu tidak apa-apa? Ya, gampang sih kalau cuman tanda tangan doing mah,” balasku malas, tetapi jawaban Freza hanya berdehem singkat. Seolah tidak peduli dengan ocehanku sebelumnya.

Aku hanya bisa menatap pasrah Freza, kemudian duduk di sampingnya dan mulai membantu Freza. Walaupun sekarang aku tengah membantu Freza dengan dokumennya, pikiranku melayang ntah kemana.

Sejauh pernikahanku dengan Freza, sikapnya terhadapku mulai berubah. Dulu dia sangat sadis, bahkan kata-katanya itu begitu pedas, hampir membuatku sakit hati berkelanjutan. Namun, hari demi hari sikapnya berubah.

Kini Freza terlihat sedikit terbuka padaku, bahkan dia tak segan-segan melontarkan argument untuk berdebat denganku. Lalu, hal yang paling tidak ku mengerti sampai sekarang adalah sikap romantis Freza.

Dia selalu bersikap romantis di hadapanku dan orang lain. Aku sedikit meragukan perasaannya Freza padaku. Apa memang dia melakukan itu dari hati atau tidak?

“Za, lo suka gue nggak?” tanyaku membuat Freza terdiam membatu, menghentikan aktivitasnya.

Aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri, karena memikirkan Freza tiba-tiba saja aku menanyakan hal itu. Melihat reaksi Freza membuatku tegang, tak seharusnya aku menanyakan hal tadi pada Freza.

Jawabannnya ya sudah pasti tidaklah, pernikahan antara aku dengan Freza hanya sebatas pernikahan kontrak. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan perasaaan.

“Ma maaf, gue gak sengaja. Gak perlu lo jawab kok, tadi gue lagi gila sesaat,” ucapku mengawur.

Freza terkekeh geli mendengarnya, "Ya emang gunanya suka itu apa sih? Toh sekarang semuanya berlaku jika punya uang, bahkan kehormatan dan harga diri pun bisa dibeli dengan uang," balas Freza membuatku terdiam tak bisa berkata-kata.

Kedua tanganku tiba-tiba menggigil, kejadian di malam itu seketika teringat di kepalaku. Pria yang sudah merenggut kehormatanku, karena ulah keponakanku sendiri.

Bisikan serta suara dari pria di malam itu terngiang-ngiang di telingaku. Wajahku berubah menjadi masam, emosiku kian meluap.

Aku benar-benar terjebak dalam lamunanku sendiri, hingga sebuah tangan mengenggam lembut tanganku.

Kutatap Freza yang menatapku dengan perasaan bingung sekaligus khawatir. Kedua tangannya sampai mengenggamku kuat seperti sekarang.

"Hei, Lo kenapa? Daritadi malah ngelamun kayak gitu. Lo sakit, Fiona?" tanya Freza menatapku sendu.

Aku tidak menjawabnya, hanya menundukan kepalaku ke bawah. Ntahlah, rasanya sangat aneh. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, mulutku tiba-tiba kelu, tak dapat berbicara.

Freza menarik nafas gusar, "Kalau gitu, mending lo istirahat aja," ucapnya kemudian menarik tanganku, membuat aku terduduk di pangkuannya kembali.

Tentu aku terkejut, tetapi ketika aku akan berdiri bangkit, Freza menahannya. Tangannya yang kekar memeluk pinggangku hangat kemudian berkata, "Diem, jangan banyak gerak. Tidur aja,"

Jantungku sudah tak aman, sikap Freza benar-benar sangat lembut. Bisa jatuh pula perasaanku padanya, walau begitu aku merasa senang.

Mencintai lelaki seperti Freza sepertinya bukan hal yang buruk. Sikapnya manis sekali, aku sangat menyukainya.

Setidaknya, dalam pernikahan kontrakku, aku dianggap seperti manusia pada umumnya oleh Freza. Berbeda dengan keluarga pamanku, yang sangat kejam. Hanya harta yang ada di kepala mereka.

Rasanya sangat nyaman tidur di pangkuan Freza, bahunya begitu lebar dan pelukannya begitu hangat. Aku merasa aman di sini, kedua mataku menjadi berat.

Sebelum kupejamkan mata, jiwaku berkelana mengingat masa lalu. Aku ... tidak ingin mengkhianati Freza, segera aku akan menceritakan kenangan burukku padanya.

Aku harap setelah kau tahu, sikapmu masih sama padaku. Tetaplah seperti ini, bersikap baik dan selalu menjagaku, Freza.

Aku terlelap tidur, kedua mataku sudah tertutup dengan sempurna. Namun, samar-samar aku mendengar Freza berbisik tepat di telingaku.

"Ya, aku akan selalu mencintaimu."

Aku terkejut, ingin aku memastikannya tapi ngantukku sudah terlalu berat. Akhirnya aku memilih tidur dan menghiraukannya.


Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang