08. Curiga

89 8 3
                                    

Aku baru menyadarinya, sejak kedatanganku ke sini aku tak pernah melihat keberadaan Rista. Segera kubuka pintu dan menatap gadis, yang selama dua hari ini tak kujumpai dengan intens.

Rista menundukan kepalanya, mengalihkan pandangannya untuk tidak beradu mata denganku. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, seolah ada sebuah perasaan tersirat yang ingin dia ucapkan padaku.

"Kemana aja lo?" tanyaku penasaran. Tentu nadaku tidak ramah sama sekali, ntahlah aku tiba-tiba merasa kesal ketika Rista enggan menatapku.

"Ma maaf, Nyonya. Dua hari ini Rista sibuk dengan tugas kampus. Banyak hal yang harus Rista siapkan, makanya Rista meminta cuci pada Tuan Freza. Beliau mengizinkan Rista, dengan syarat setelah ...." Rista menatapku yang tengah menatapnya balik.

"Setelah apa?" Sungguh aku dibuat gila karena penasaran ini. Kenapa Rista menggantung ucapannya! Membuat sakit kepala orang saja.

Rista kembali menundukan kepalanya, "Setelah Nyonya dan Tuan pulang dari bulan madu," tutur Rista membuatku tercengang.

Jika penuturan Rista benar adanya, berarti Freza memang sudah menyiapkan semua ini dengan baik. Lantas mengapa dia tiba-tiba pergi, kala seharusnya kita menghabiskan malam bersama? Sungguh aneh.

Kedua mataku melirik ke arah tangan Rista yang terkepal. "Kenapa?" tanyaku membuat Rista terkejut.

Gadis itu segera menggelengkan kepalanya menolak, "Tidak ada apa-apa, Nyonya. Mari, Rista bawakan pakaian Nyonya ke dalam," balasnya bergegas mengambil barang-barang di bagasi mobil.

Kedua mataku menyipit, sikap aneh Rista membuat pikiranku melayang berpikir negative. Dengan cepat kutepis pemikiran itu dan masuk ke dalam.

Sambutan hangat dari Bu Daniar menyapaku dengan ramah. Dia bahkan memelukku hangat, senang rasanya diperlakukan seperti ini.

Ah, andai saja keluarga bibi seperti ini. Mungkin kebahagiaan di dunia ini sudah cukup untukku. Kubalas pelukan Bu Daniar tak kalah hangat.

Bu Daniar menatapku sambil tersenyum menggoda, membuat dahiku mengernyit heran. "Kenapa, Ma?" tanyaku bingung.

Bukannya menjawab Bu Daniar malah semakin melebarkan senyumannya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, kemudian tersenyum canggung.

"Bagaimana malammu? Apakah Freza memperlakukanmu dengan baik? Dia tidak bermain kasar, kan?" tanya Bu Daniar balik dengan masih mempertahankan senyum godanya.

Mataku terbelalak kaget, tak kusangka Freza mengatakan kami pergi bulan madu pada Bu Daniar. Pria itu benar-benar merencanakannya dengan matang.

Ketika aku akan membalas ucapan Bu Daniar, terdengar begitu nyaring suara vas yang jatuh ke lantai. Membuat kami menoleh ke sumber suara.

Kulihat Rista yang tengah berbisik malu karena berhasil menjatuhkan sebuah vas. Dengan sigap dia membungkukkan badan meminta maaf padaku dan Bu Daniar.

"Ma maaf, Rista tidak melihat ada vas bunga di sini. Maaf, Nyonya," ucap Rista dengan suara gemetar.

Aku tersenyum sinis, benar dugaanku selama ini. Rista menyukai Freza, itulah yang kurasakan ketika melihat Rista, yang menatap Freza dengan malu-malu.

Memang benar, tidak ada yang bekerja dengan senang hati di dunia ini. Rista mungkin mau menjadi asistenku agar bisa melihat Freza dengan leluasa. Ntah mengapa hatiku merasa kesal, padahal aku tahu tidak mungkin Freza menyukai Rista.

Sepertinya cukup bagus sifat cuek Freza, aku tidak perlu khawatir dia akan jatuh cinta, pada seorang gadis dengan mudahnya.

Aku menyadarinya ketika di hotel saat itu. Ketika kami tengah menunggu Freza, terlihat jelas jika Rista benar-benar berdandan, hampir menyamai diriku yang seorang majikannya. Mungkin itu caranya agar bisa memikat hati Freza.

Dugaanku semakin kuat karena sikap Rista sekarang. Kupastikan dia cemburu mendengar aku dan Freza berbulan madu. Andai dia tahu yang sebenarnya, mungkin dalam hatinya tengah menertawakanku.

Sifat jailku muncul, sepertinya akan menarik jika aku menggoda Rista. Lagipula tidak ada salahnya, aku menambahkan bubuk peri dalam cerita bulan madu kami.

Kutatap Bu Daniar yang menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Ya sudah gak papa, biarin yang lain aja yang beresin. Kamu simpen aja barang-barang Fiona ke kamarnya," balasnya diangguki oleh Rista.

"Em, Rista. Bolehkah aku meminta tolong padamu? Tolong siapkan tempat tidurku, semalam aku benar-benar tidak bisa tidur karena Freza," ucapku sambil tersipu malu.

Dalam hatiku berteriak kegirangan, rasanya sangat senang bisa menjahili orang lain. Terlebih reaksi dari Rista sendiri tepat seperti dugaan. Dia kesal, tetapi tak bisa melakukan apa-apa.

"Ba baik, Nyonya. Rista siapkan pakaian anda," balasnya kemudian bergegas pergi meninggalkan kami.

Aku tersenyum senang, tanpa kusadari Bu Daniar tengah tersenyum menggoda menatapku. "Akhirnya aku bisa mendapatkan seorang cucu. Baguslah, setidaknya aku bisa mendengar tangis seorang bayi di sini. Kalian membuatku senang, kebahagiaanku sudah cukup sekarang," tutur Bu Daniar.

Senyumku memudar, ada sesuatu yang aneh. Bu Daniar tadi mengatakan kalian? Seketika jantungku berdetak dengan cepat. Kutatap ke samping dengan perlahan, alangkah terkejutnya aku mendapati Freza tengah duduk di sampingku.

Aku bahkan tak bisa menyembunyikan rasa kagetku, hampir saja aku melompat ke samping saking terkejutnya. Sial! Apakah dia mendengar semuanya dari awal? Kutatap Freza intens. Dia menatapku balik, kemudian tersenyum sinis.

Ok, fiks. Freza mendengar semua yang kukatakan. Apa yang harus kulakukan? Niat hati membuat perangkap tikus, eh malah terperangkap sendiri. Definisi senjata makan tuan kurasakan sekarang.

Aku tersenyum canggung, batinku menjerit takut sekaligus malu. Ingin aku mengubur dalam sekali diri ini. Namun, karena tidak ada tanah akan lebih baik kabur sekarang.

Ya, aku berniat kabur sekarang. "Ma, Fiona pamit ke kamar dulu," ucapku bergegas pergi. Namun, sebuah tangan berhasil menahanku.

Mataku melirik ke belakang dan mendapati Freza tengah menggenggam tangan kananku. Dengan santainya dia menarik tanganku, hingga membuatku terduduk di pangkuannya kembali.

Dia tersenyum menatapku. Senyumannya sangat berbeda, terlihat menyeramkan di mataku. Dengan susah payah aku meneguk salivaku sendiri.

"Ekhem." Bu Daniar berdekhem kecil membuat kami menatapnya dan memutus kontak mata.

Freza tersenyum, ya aku masih menatapnya sampai sekarang. Hatiku ingin berpaling, tetapi mata ini sudah tersihir dengan ketampanan Freza.

"Ma, kami pergi ke kamar dulu. Ada hal yang harus kami selesaikan, sampai jumpa, Ma," ujar Freza kemudian mendorong kursi rodanya pergi meninggalkan Bu Daniar yang tersenyum.

Freza sudah gila, bagaimana mungkin dia mengatakan hal ambigu seperti itu di depan Bu Daniar. Apa yang akan dipikirkannya nanti!?

Sampailah kami di kamar, aku masih asyik menikmati digendong menggunakan kursi roda oleh Freza. Rasanya sangat nyaman, berbeda sekali dengan digendong berjalan.

Ketika kami masuk ke dalam kamar, kami mendapati Rista yang tengah menyimpan pakaianku di atas ranjang. Kedua matanya membulat sempurna, tersirat sebuah emosi yang terpancar dari matanya.

"Kalau sudah tidak ada keperluan, pergilah dari sini." Kutatap Freza yang terdiam menatap lurus ke depan. Apa yang dia pikirkan!?


Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang