03. Menjadi Umpan

143 9 2
                                    

Freza hanya menatapku datar lalu melanjutkan aktivitasnya. Dia tak menjawab sedikit pun pertanyaanku. Dia telah membuatku kesal, dengan geram aku melempar bantal dan tepat mengenai wajahnya.

Aku tertawa, jika dipikir kembali sekarang aku lebih berani padanya. Mungkin karena ibu dan bapaknya Freza dekat denganku, jadi tak khawatir Freza akan mengusirku dari sini.

Freza memicingkan mata menatapku, tetapi aku tak mempedulikannya. "Lo sih, gue tanya serius malah diem. Bisu atau tuli pun nggak," sungutku beralasan.

"Lo emang pengen tahu? Kalau lo tahu gue harus apa? Gak penting, tahu?" Freza melontarkan banyak pertanyaan padaku. Ck, pria itu ditanya malah nanya balik, dasar pria!

"Bodo, serah lo mau gimana," balasku geram. Langsung saja aku membanting tubuhku ke ranjang, terdengar Freza yang terkekeh geli senang membuatku kesal sepertinya.

"Lo mau gue jadiin umpan, keknya seru." Dahiku mengernyit heran mendengar penuturan Freza. Dengan segera aku bangkit dari tidurku dan memilih menatap Freza yang juga tengah menatapku.

"Maksud lo apaan? Gue jadi umpan?" Freza tersenyum dan mengangguk. Aku semakin tidak mengerti dibuatnya.

"Jelasin yang bener, jangan setengah-setengah." Aku berdecak kesal karena ternyata memang benar, kalau Freza menikahiku karena ada alasan lain.

Ya memang aku tidak mengharapkan cinta dalam rumah tanggaku dengan Freza. Namun, tetap saja aku membenci orang yang memanfaatkan yang lain.

"Lo mau dijadiin umpan, ngerti nggak sih?" Freza tampak berdecak mendengar penuturanku. Aih dia itu sangat tidak peka, masa balik nanya lagi sih!?

"Iya gue ngerti jadi umpan tapi umpan apa? Umpan buaya darat atau apa? Tunggu kalau buaya darat berarti ...." Aku segera melemparkan bantal lagi ke arah Freza. Namun, kali ini lemparannya meleset, ah sial sekali!

"Apaan si, gak jelas banget lo lempar-lempar bantal gini," ucap Freza penuh dengan kekesalan.

Freza kesal? Oh Tuhan, mengapa dia yang kesal? Seharusnya akulah! Karena kan yang dijadikan umpan itu aku bukan Freza. Dan Freza dengan seenaknya menjadikanku umpan.
Walaupun kami telah menikah, tetapi kan ini hanya sekedar pernikahan kontrak. Jadi Freza tak berhak sepenuhnya atas diriku, awas saja aku akan membalas perbuatannya yang ini nanti.

"Lo mau jadiin gue umpan buaya darat hah!? Awas aja ya, gue laporin Mama kalau anaknya KDRT sama menantu kesayangannya," ancamku membawa nama Bu Daniar.

Rahang Freza menegas, dahinya semakin berkerut kesal tak terima dengan apa yang kuucapkan. Dia mengajakku beradu tatap, ayo. Kutatap balik Freza tak mau kalah.

Freza akhirnya pasrah untuk ke-dua kalinya. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, tetapi sebelum tubuhnya menghilang sepenuhnya masuk ke dalam kamar mandi. Freza mengatakan sesuatu, "Gampang, ntar gue kasih menantu baru aja."

Setelah mengatakan hal itu, Freza terkekeh geli dan segera menutup pintu kamar mandi. Sial! Aku hampir mengejarnya masuk karena kesal dipermainkan seperti ini olehnya.

Tuhan, mengapa memberikanku suami seperti Freza? Sudah menyebalkan senang pula membuatku penasaran setengah mati. Aku harus segera membiasakan sikap Freza, ternyata Freza yang kukenal sangat berbanding terbalik dengan Freza di rumor.

Baru membayangkannya saja sudah membuatku pusing. Lebih baik aku pergi tidur sekarang, biarlah besok aku bertengkar lagi dengan Freza. Aku naik ke ranjang kembali, dan menyelimuti tubuhku dengan selimut lalu tertidur.

*

Aku berjalan menyusuri lorong kantor pagi ini. Bu Daniar menginginkanku menemani Freza bekerja, katanya biar hubunganku dengan Freza semakin dekat. Aku tak enak hati mengatakan jika pernikahan kami hanya sebatas kontrak.

Karena kasih sayang Bu Daniar, aku tidak tega jika menolak kemauannya. Makanya aku datang ke kantor Freza pagi ini. Freza sudah berangkat dari kemarin malam, Bu Daniar bilang kalau Freza ada urusan mendadak.

Aku tidak peduli, mau Freza pulang atau tidak bukan urusanku lagi. Aku hanya melakukan apa yang Bu Daniar inginkan, bersikap sebagai menantu kesayangannya.

Banyak sekali yang menyapaku saat aku tiba, semua karyawan Freza sangatlah ramah. Berbeda dengan bosnya sendiri yang cuek dan galak. Para karyawan di sini didominan oleh kaum hawa, mungkin sekalian sebagai ajang pencuri hati Freza.

Tidak sedikit pula karyawan wanita yang menatapku dengan taksuka. Karena memang akulah yang menjadi isteri sah dari Freza sekarang. Ntahlah, aku merasa sedikit bangga bisa mengalahkan ratusan wanita. Walau sebenarnya aku tak sedikit pun menyukai Freza.

Sampai aku di ruangan Freza, sekertarisnya menyambutku dengan ramah. Ia mempersilahkan aku masuk ke dalam tanpa harus menunggu.

Aku segera masuk, ruangan ini cukup besar. Baru dua langkah masuk ke dalam, parfum khas Freza sudah meraba indra penciumanku. Mataku menatap ke sekiling dan berhenti tepat pada seorang pria.

Ada yang aneh, mengapa Freza tidak mengeluh aku datang kemari? Freza hanya melayangkan tatapan kesal lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.

Bukan aku namanya kalau nggak kepo, kudekati Freza dan menatapnya lekat. "Tumben banget lo nggak nanyain kenapa gue dateng ke sini? Pertanyaan yang sering lo tanyain sejak kita nikah tuh 'Ngapain lo di sana, ngapain lo gitu'. Tumben sekarang gak nanya gitu?"

Freza memijat pelipisnya, "Lo bisa diem kagak? Tinggal duduk di situ tanpa ngomong emang susah? Gak lihat gue lagi kerja?"

Aku berdecak kesal, "Ya kalau lo gak mau gue ganggu, ngomong dong. Cerita gitu napa gak tanyain kenapa gue di sini," sungutku tak mau kalah.
Freza menghela napas pasrah, dia menatapku kesal dan mulai bercerita.

*

Setelah perdebatan panjang dengan Fiona, kamu memilih pergi dan membersihkan diri. Saat kamu keluar kamar mandi, kamu terkejut melihat Bu Daniar duduk di sebelah Fiona yang tertidur pulas.

Kamu pun bertanya, "Mama lagi apa? Apa ada hal pentingkah? Padahal Freza bisa aja dateng ke kamar Mama," ucapmu seraya mendekati Bu Daniar.

"Freza denger ucapan Mama, kamu itu harus jaga Fiona. Mama nggak mau kamu mempermainkan sebuah pernikahan," ucap Bu Daniar membuatmu tertegun.

Kamu tersenyum, "Iya Ma," balasmu singkat.

Mendengar balasanmu, Bu Daniar segera memelukmu hangat, "Mama sayang kamu, jangan sampai kamu ngikutin jejak kakakmu," ucapnya.

Kamu mengangguk dalam diam, setelah Bu Daniar melepaskan pelukannya dia berkata, "Besok Fiona akan datang ke kantormu. Jangan marahi dia, bersikap baiklah padanya."

Kamu tersenyum miris, demi masa lalu kamu mengorbankan kehidupanmu sekarang. Kamu hanya bisa mengangguk pasrah, setelah itu Bu Daniar pergi meninggalkanmu dengan Fiona.

Kamu menatap Fiona dalam, memikirkan kata-kata Bu Daniar sebelumnya. Yang dikatakannya sangat benar, kamu menundukan kepala dan berbisik pelan, "Maaf, lo harus jadi umpan gue."








Votenya dong^^

Priaku di Kursi RodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang