🍀XII : Memori Asing (c)🍀

800 212 19
                                    

Memori asing yang kulihat kali ini adalah memori paling panjang dan paling jelas yang pernah aku terima

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memori asing yang kulihat kali ini adalah memori paling panjang dan paling jelas yang pernah aku terima.

Aku—Niida—melihat ruangan dalam rumah kayu sederhana dengan lantai beton. Aku yang tadinya dalam posisi tidur berganti jadi posisi duduk, di atas karpet anyaman yang sudah rusak dan robek di beberapa bagian.

Aku tidak mengendalikan kepala untuk menoleh, tapi kepalaku berbuat demikian sendirinya dan aku mendapati seseorang di sebelah kiri.

Pria itu awalnya mengerjap kaget, lalu tersenyum tipis.

Dia adalah Karma versi dua puluhan. Surainya masih agak cepak tanpa uban, tanpa kerutan di ujung mata yang tampak saat dia tersenyum.

Kurasakan wajahku membalas senyum sambil mengatakan, "aku pingsan lagi, ya?"

Ya ampun, apa yang terjadi dengan suaraku?

Yang lebih mengagetkannya lagi aku bisa melihat tubuhku menjadi lebih dewasa dan ... astaga, aku merasa tua.

Mata ini menoleh ke bawah, mendapati tangan kami terpaut. "Tidak perlu merasa merepotkan. Sejak sebelum menikahimu, aku sudah menerima dan memahamimu."

M-MENIKAH?!

"Bagaimana tadi? Apakah Mou sudah menemukan dunia yang bisa manusia berkemampuan tempati?" tanya Niida.

"Sayangnya, iya," jawabnya pasrah. "Dan itu planet yang memiliki kemungkinan kecil untuk layak ditempati."

Meski pria itu menuturkannya dengan kesan dingin, Niida merasakan adanya harapan, tapi perasaan itu segera berganti menjadi pilu. "Tidak apa. Aku bisa mengakalinya dengan bantuan kemampuan lain. Kita bisa membuat tempat tinggal selayaknya planet ini—"

Karma agak jengkel. "Kamu ini paham tidak apa yang sedang aku sampaikan? Aku bilang, kemungkinan layak untuk ditinggali sangat kecil. Kamu mau nekat mengunjungi planet yang belum jelas itu? Kamu bahkan tidak tau ada udara atau tidak di sana."

"Tidak masalah. Selama planet itu memiliki air yang merupakan unsur dasar kehidupan, kita bisa—"

"Niida!" tekan Karma. "Untuk kali ini saja, aku mohon ikuti ucapanku. Jangan membahayakan dirimu sendiri lagi."

"Tidak," bantahku. "Aku tetap merasa perlu melakukan sesuatu. Kita sudah kehilangan banyak orang, Karma. Pertikaian ini mesti diakhiri. Dan cara untuk menyudahinya adalah kita harus pergi dari sini." Kurasakan amarah membuncah di setiap katanya.

"Mereka semua orang yang tak pernah menganggapmu ada sebelum kemampuanmu bangkit," protes pria itu. "Mau itu manusia berkemampuan dan manusia biasa yang tirani itu."

"Sekarang semuanya berbeda," timpalku. "Kita semua saudara sedarah."

"Mereka mempengaruhimu!"

Aku menegang mendengar bentakan darinya. Perasaan nyeri tumbuh di balik paru-paru, seperti ingin menangis.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang