🍀XIV : Mauna Loa (a)🍀

761 214 16
                                    

Sangat klasik kalau aku berkata 'semuanya terjadi begitu cepat' lagi, tapi itulah yang terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sangat klasik kalau aku berkata 'semuanya terjadi begitu cepat' lagi, tapi itulah yang terjadi.

Aku menghadap punggung Kak Amma dan Yoku, memunggungi Saga, Radit dan Lofi. Jemariku secara otomatis meremas punggung baju Kakak sambil menyisirkan pandangan ke celah di antara kedua petinggi ras Api, melihat robot manusia yang Saga bilang akan menghampiri mereka dari arah sana.

Namun, dari pada serangan kejutan, kami bertiga melihat kejutan yang lain. Dua cyborg laki-laki tergulung dari tangan sampai betis oleh akar kokoh pohon yang tak jauh dari kami dan diseret ke arah pohon.

Bersamaan dengan itu, kudengar suara gemeresak dedaunan yang ramai, disusul suara remukkan yang tak begitu nyaring. Aku menoleh, melihat cabang-cabang pohon menggulung, dan meremas kuat-kuat tiga cyborg yang datang dari sana.ˆ

Wajah mereka yang tetap datar meski tubuhnya mengalami kerusakan, menciptakan kengerian tersendiri bagiku. Eh ... sebentar, cyborg wanita pirang itu tampak familier. Namun aku gagal mengingatnya.

"Serang sekarang," ucap Yoku sebelum lari ke arah cyborg di depan dengan pedang berapi.

Kakak menyusul meski ekspresinya tampak ragu. Aku melirik Saga, merasa keganjilan ini ada hubungannya dengan dia.

Aku mendengar percakapan ketiga laki-laki di belakangku.

"Ada satu langkah kaki yang aneh," ucap Saga tenang. "Aku baca dari sensor tanaman putri malu, gak begitu jauh dari kita."

"Aneh kenapa?" tanya Radit.

"Langkahnya ... kayak hewan berkaki enam yang besar, tapi ...." Dia tertawa canggung. "Gak mungkin Kuda di sini kakinya enam, ya, kan, ya?"

"Gila aja kalau ada," timpal Radit.

Hewan berkaki enam ....

"Gak ada hewan darat berkaki enam," kataku. "Kalau serangga dan beberapa hewan laut ada yang punya kaki lebih dari empat."

Setidaknya itulah yang aku tau.

Kami berempat serentak menoleh ke depan ketika mendengar suara khas mesin beroperasi. Dua dari cyborg yang remuk mengarahkan senjata mereka ke arah kami. Satu robot hendak menembak kami dengan senapan berpeluru banyak yang terpasang di seluruh bagian tulang rusuknya yang sudah rusak, satu lagi siap menembakkan laser berwarna biru neon dari mata yang menyala berwarna serupa.

Aku merapatkan diri ke punggung Saga. "Dit, bikin pelindung kaya tadi," pintaku.

"Gak bisa, Kak. Itu bukan kemampuan aku. Itu kemampuan orang yang aku tiru."

Mulutku menganga sejenak. Dia meniru kemampuan orang?

Ah, benar. Dia pernah bilang padaku kalau kemampuannya itu ... copy ... copy ....

Tau, deh. Aku lupa.

Tepat beberapa detik ketika kedua senjata itu meluncurkan peluru dan laser, pepohonan yang tadinya berjauhan mendadak bergeser seperti menyeret diri mereka ke depan kami. Saga merangkulku dan kami menunduk dari serangan laser yang berhasil menembus batang pohon. Sementara Radit dan Lofi terlindung dari hujanan peluru yang berisik.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang