🍀Yuan🍀

1.6K 206 51
                                    

 "Yuan, kamu sakit?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 "Yuan, kamu sakit?"

Haaah ....

Aku mengangkat wajah yang tadinya kutenggelamkan dalam lipatan tangan di atas meja, menatapnya lemas dan malas.

Ingin sekali aku meneriakkan kata 'IYA' pada gadis bodoh ini. Dilihat saja sudah kentara kalau aku sakit.

Sebelum masuk ke kelasku, Anna bertanya pada anak kelas lain tentang kenapa aku yang biasa menghampirinya di jam istirahat, kini tiduran di meja.

Dia sudah mendapat jawabannya. Aku sedang sakit kepala. Lalu, dia ke sini—astaga, kenapa dia tidak pergi ke kantin sendiri saja, dasar manja!—, duduk di bangku di depanku dan kembali bertanya dengan pertanyaan yang sudah dia dapat jawabannya.

Meski rasa kesalku berkali lipat karena pusing, aku tetap menjawab dengan nada suara se-bersahabat mungkin. "Iya, nih. Duuuh, semalem aku baca komik sampe begadang."

Padahal aku sedang duel melawan robot-robot Falcon sampai begadang.

"Komik apaan? Kepo, nih, jadinya," tanyanya.

Aku meluruskan kepala yang tadinya terbaring miring, mendapati Anna memangku wajah.

Bukankah seharusnya orang tidak akan mengganggu temannya yang sakit?

Apa perlu aku membentaknya agar dia pergi?

"Dari pada itu, kamu emang gak laper? Gak mau ke kantin?" tanyaku.

Dia ber-hmm. "Oke, deh. Aku ke kantin dulu, ya?"

Gak usah balik lagi ke sini! "Okeee," balasku.

Setelah dia keluar dari kelas, aku langsung menekuk wajah. "Sana makan sampai tersedak," gumamku, kembali merebahkan kepala.

Kelas segera sepi begitu bel istirahat berbunyi. Akhirnya tenang juga. Berada di sekitar manusia-manusia ini membuatku muak! Ingin sekali suatu hari ini aku membumihanguskan tempat ini sampai tidak ada satu kepala pun dari mereka yang masih meronta-ronta.

Mereka manusia-manusia yang sudah membuat Ayahku menderita sepanjang hidupnya. Hukuman seperti itu memang tidak cukup setara jika dibandingkan. Mereka harusnya merasakan yang hal sama seperti yang Ayahku alami.

Merasakan rasanya ditendang dari rumah sendiri, keluarganya dikorbankan orang kaum sendiri, dan ketika mereka pikir semuanya sudah selesai, mereka mesti menonton manusia-manusia—yang sudah mengusirnya di awal—mengotori tanah yang mereka perebutkan dengan darah dan berbagai macam buangan.

Haha! Benar-benar level egoisme yang ekstrem!

Keburukan Aderida tidak ada apa-apanya dibanding orang-orang ini!

Rasa senangku langsung berubah jadi air panas yang mendidih mengingat nama tempat itu. Begitu namanya teringat, otomatis aku mengingat apa saja yang pernah kualami di sana.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang