🍀XII : Memori Asing (d)🍀

827 214 21
                                    

[baca ulang dulu bab yang sebelumnya, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[baca ulang dulu bab yang sebelumnya, ya. Karena ada bagian yang ditambah+diperbaiki]
(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Saga berlari turun dan nyaris menabrak pohon kalau dia tidak berbelok. Dia menghampiriku dengan senyum lebarnya yang biasa.

Mumpung aku punya kesempatan untuk bicara dengan Saga tanpa keberadaan Karma dan yang lain, aku langsung menyuarakan isi pikiranku.

"Saga, kamu punya cara lain untuk pulang?"

Laki-laki itu tercenung sejenak. Maniknya melirik sejenak ke arah Karma, lalu dia berkata dengan agak lantang, "Kayak kemarin lagi? Ooh, oke, oke."

Dia duduk bersila di rumput, lalu dia menunjuk ke depannya. "Kamu duduk di situ."

Aku menurut meski tak mengerti. Aku duduk di depannya, agak membelakangi Karma dan yang lain. Saga bilang 'seperti kemarin', jadi aku kembali melebarkan telapak tangan ke rerumputan pendek, kemudian telapak tangan Saga bersandar di punggung telapak tanganku.

Aku baru menyadari ada lebam panjang di pergelangan tangannya. Telat banget kamu sadar soal ini, Na. Aku cukup yakin mereka sudah memborgol Saga juga dari awal.

Kenapa orang ini tidak keberatan diperlakukan begitu? Tidakkah dia merasa tidak adil? Dia hanya membantuku dan sebagai balasan, kebebasannya direnggut.

Nadi yang bercahaya lembut dan berdetak mengikuti detak jantung seketika diam dan stabil. Aku tak begitu memikirkan maksud dari itu karena saat ini aku ingin bicara serius dengan si peri.

"Coba bicara tanpa begitu menggerakkan bibir," tutur Saga pelan sambi mencontohkan. "Mereka bakal curiga kalau kita bicara banyak."

Oooh, baiklah. Aku sempat berpikir dia salah makan karena dia berkata aneh tadi. Ternyata, dia cukup cermat dalam mengelabui orang.

"Memangnya semua pertanyaan kamu udah terjawab?" tanyanya. "Udah gak penasaran?"

"Dibanding penasaran, aku lebih merasa gak tenang di sini. Semakin aku coba pahami, semakin aku merasakan bahaya, entah dari mana."

" ... dari pengalamanku, kalau insting kamu bicara begitu, kemungkinan besar memang ada bahaya, tapi karena kamu orangnya pesimis dan suka negatif thinking—"

"Bisa serius, gak?" potongku, sedikit tidak terima pada ucapannya yang terlalu jujur. "Aku bukan kamu yang sering bertaruh sama insting. Aku udah berpikir dan memastikan berkali-kali sebelum aku bilang begini."

Saga terdiam sejenak. "Keluarkan kemampuan kamu, Na." Dia mengalihkan topik

"A-aku gak tau mesti ngapain ...."

"Yang kayak kemarin aja. Bikin benteng sekalian, yang tinggi, biar kita bisa bicara lebih leluasa."

Benteng, ya?

Aku menutup mata, mengingat-ingat pondasi dan bentuk benteng dari pengetahuanku yang terbatas ini.

Erg, tidak terbayang! Tidak heran aku hanya bisa menggambar pemandangan sederhana dari dua segitiga untuk gunung dan satu bulatan tak rata untuk matahari—alias nilai pelajaran menggambarku hancur sekali—!

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang