17 April 2019-Waktu Bumi
Penjara adalah urutan terakhir tempat yang masuk dalam daftar 'tempat yang tidak mungkin dan tidak mau aku kunjungi seumur hidup'.
Aku anak penurut, baik itu di rumah dan di sekolah. Bagiku, tantangan itu melelahkan, kekerasan itu menakutkan. Jadi, tidak mungkin anak sepertiku masuk penjara.
Namun, di sinilah aku! Di tempat yang dingin sarat kegelapan, dengan percikan darah kering di lantai beton, bau hangus, dan jelaga yang memenuhi tembok.
Bahkan, sebuah obor yang terpasang di masing masing sisi kiri jeruji terlihat mengancam, seakan dia akan merayap ke dalam dan membakar saat aku terlelap.
Setelah pembelaan yang sia-sia, kami bertiga ditahan di tempat ini. Saga duduk menyamping di penjara seberang dengan badan bersandar sambil memeluk kaki, sedangkan nenek itu masih pingsan di penjara sebelahnya.
Entah sudah berapa lama kami tenggelam dalam kesunyian, aku sendiri masih menyangkal ini nyata sejak tadi.
"Aku tak mengira akan jadi seperti ini," ucapku parau karena emosi masih mengendap di tenggorokan. Saga tak membalas, menoleh pun tidak.
Aku mengguncang-guncangkan jeruji. "Woi, dengerin!" bentakku.
Dia menoleh. "Apa?" pasrahnya, tapi terlihat dingin.
"Kenapa kamu diam aja? Cepat selamatkan diri dari sini! Keluarkan pohon atau tumbuhan lain yang bisa menghancurkan tempat ini. Setelah itu, kita kabur."
Saga menunduk. "Aku enggak bisa."
"Kenapa enggak bisa?"
"Penjara ini bukan penjara biasa. Sejak tadi aku mencoba untuk menumbuhkan pohon, tapi tidak bisa. Tempat ini menahan kemampuanku," balasnya menatap langit-langit penjara.
Kemampuan dia bilang. "Tuh, kamu jujur. Kenapa tadi siang kamu bohong?" sergahku.
Dia tersenyum, aku mengernyit tersinggung karena merasa dia mengejekku yang menangis di situasi ini. "Dasar aneh, kenapa kamu senyum-senyum?"
Saga menggeleng lalu kembali menundukkan kepala. Aku benar, siswa janggkung itu bisa menumbuhkan tanaman. Dia memiliki kemampuan unik.
"Kamu bukan manusia ya, Ga?"
Saga membuka matanya lebar-lebar, menoleh dengan ekpresi tidak terima. "Enak aja, aku manusia," protesnya.
"Bukan," tekanku, menggeleng pelan, "enggak ada manusia yang punya kemampuan kaya kamu."
Dia masih tidak terima. "Aku manusia dari bumi yang lain. Bumi yang saat ini kita pijak."
Aku mengangguk paham, kemudian mengerutkan dahi. "Bumi yang lain?"
"Athyana, kamu enggak sadar kita berada di planet lain? Enggak ada tempat seperti ini di bumi kita, Na," lontarnya.
"Planet ... lain?" kataku ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓
Fantasy🍁Teen Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 [ Pemenang Wattys 2021 - Fantasy ] Sebagai anak terlantar, aku cukup optimis. Aku tidak tau kenapa, tapi aku sudah bahagia dengan orang tua angkat yang sangat kucintai. Namun, perubahan terjadi dan aku sangat m...