29 April – waktu bumi
Aku bangun, melihat langit-langit ruangan beton yang tidak dicat. Aku sempat bingung, tapi aku ingat kalau Yuan menjemputku semalam dan sekarang aku berada di bawah perawatan orang yang dia percaya.
Badanku terasa lemas, mengingatkanku pada gejala demam dan radang--tenggorokanku masih nyeri. Kuraba bagian bawah hidungku karena merasakan adanya benda asing. Ini ... selang kecil? Apa aku memakai alat bantu pernapasan? Selang lain di tanganku itu selang infus?
Baru kali ini aku menerima perawatan seserius ini, jadi aku merasa tidak nyaman.
Aku menoleh ke kanan, mendapati orang yang dimaksud. Dia wanita Asia bersurai hitam yang panjangnya melewati bahu tapi tidak sampai siku. Wanita itu memakai jas putih ala dokter membalut pakaian biasa dan rok di baliknya, sedang duduk melipat kaki tak jauh dariku, membaca kertas yang dijepit di papan jepit.
Namanya Kenny.
Mata hitam monolid-nya menoleh padaku. "Kamu sudah bangun," ujarnya dalam bahasa Bumi Kedua. "Bagaimana tenggorokanmu? Masih perih?"
Aku membalasnya dengan suara parau. Tenggorokanku perih, mengingatkanku pada gejala radang yang pernah kualami sebelumnya, tapi lebih sakit dari pada waktu itu. "Iya ...."
"Tidak heran. Kamu batuk-batuk darah terus sehari semalam." Dia bangkit dari duduk. Telapak tangannya yang sangat sejuk mendarat di dahiku. "Demamnya masih belum turun ...."
"Saga—" Aku batuk lagi.
"Dia masih ada di sini, tapi aku melarang siapa pun untuk masuk ke UKS ini sampai demammu turun. Tubuhmu saat ini sangat rentan, bakteri seremeh apa pun akan mudah menjangkit." Dia tampak pasrah. "Ini karena kemampuanmu yang sudah lama terperangkap dalam 'kuncian' dan tidak digunakan. Alhasil tubuh yang seharusnya tumbuh sekaligus menyesuaikan diri dengan kemampuan, malah tumbuh tanpa mengetahui adanya keberadaan kemampuan tersebut."
Dia bicara seolah tau tentang kemampuanku.
"Kak Kenny—"
"Kenny saja."
" ... Kenny, kamu tau tentang kemampuanku?"
Aku tidak percaya aku mengatakan 'kemampuanku'. Rasanya seperti aku sedang berakting menjadi manusia berkemampuan.
"Tentu." Dia menarik tangannya dari dahiku dan kembali duduk, menghadap layar komputer, lalu mengetik sesuatu. "Kalau tidak, mana mungkin aku bisa memberi perawatan medis? Aku ini dokter, bukan peramal."
"Tau dari mana?" tanyaku lagi.
"Dari seseorang yang tau betul soal pemilik kemampuanmu di masa lalu."
Kenny menjawabnya dengan enteng dan santai, tapi perkataannya bermakna besar buatku.
"Siapa—" Aku batuk lagi. Aku merasa energiku banyak terkuras hanya karena batuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓
Fantasy🍁Teen Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 [ Pemenang Wattys 2021 - Fantasy ] Sebagai anak terlantar, aku cukup optimis. Aku tidak tau kenapa, tapi aku sudah bahagia dengan orang tua angkat yang sangat kucintai. Namun, perubahan terjadi dan aku sangat m...