PILU

6.6K 357 8
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote...

*****

Niskala menatap kosong gundukan tanah di hadapannya. Bahkan, angin yang berhembus dan meninggalkan jejak dingin di kulit tak mampu membuatnya beranjak. Kedua matanya yang bengkak sudah tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis.

"Mita, aku harus apa setelah ini? Seandainya aku bisa, aku bakalan tukar nasib sama kamu." Niskala bergumam dengan kedua tangan yang memeluk dirinya sendiri. Dia benar-benar tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, hari-harinya pasti tak akan sama setelah kehilangan sahabat sekaligus salah satu bagian hidupnya.

"Paling nggak, aku gak akan merasa bersalah sama kamu. Karena aku gagal jadi sahabat baik kamu." lanjutnya dengan suara parau.

"Kita harus pulang. Masih banyak yang perlu dibahas."

Suara dingin itu berasal dari arah belakangnya. Dipta yang sejak tadi juga ada disana tak membuka suara sedikit pun, hingga akhirnya pria itu memutuskan untuk mengajak Niskala kembali ke kediaman Mita.

"Balik aja dulu. Aku masih mau di sini."

"Jangan keras kepala. Setelah ini kamu jadi tanggung jawabku. Jangan bikin susah!"

Sebenarnya kalimat yang dilontarkan Dipta mampu menyulut emosinya. Tapi Niskala sudah terlampau lelah, jadi ia memilih berdiri dan menatap pria di depannya dengan raut wajah datar untuk mengungkapkan sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Kamu lupa ya aku kemarin bilang apa di rumah sakit? Aku gak mau nikah sama orang yang bahkan gak punya perasaan sama aku. Aku gak bisa kayak gitu! Apalagi kamu punya Mita. Aku gak mungkin mau jadi penghianat! Makam Mita belum kering dan kamu masih mau bahas soal nikah? Lupain soal pesan terakhir itu!"

Tanpa menunggu reaksi Dipta, Niskala berlalu begitu saja. Ia sudah sangat lelah, Niskala butuh istirahat, bukan sebuah bahasan yang bahkan dia sendiri tak menginginkannya.

Hingga saat mendekati mobil miliknya, sebuah cekalan menghentikan gerakan Niskala membuat dirinya menoleh ke arah seseorang di sampingnya.

"Kamu gak mau ngecewain Mita kan? Kamu juga gak mau kan ngecewain Bunda? Bahkan kalau Adam mau nikahin kamu karena dia suka kamu, aku gak akan ngebolehin. Karena Mita udah ngasih kepercayaan ke aku buat jagain kamu."

"Kita buat perjanjian."

Niskala yang semula enggan mendengarkan kalimat Dipta seketika memusatkan perhatian pada pria itu.

"Apa? Perjanjian apa? Orang nikah itu udah janji loh, Dip. Terus kamu mau buat janji di atas janji? Bisa kamu nepatinnya?"

Dipta menghela napasnya sambil melepas cekalan tangannya pada Niskala. "Setelah seratus hari Mita kamu boleh pergi. Pernikahan ini boleh kamu anggap sebagai formalitas, biar Bunda dan Adam percaya aku mampu memenuhi permintaan terakhir Mita meskipun..."

"Meskipun terpaksa." potong Niskala sambil mengulurkan tangan kanannya dan disambut oleh Dipta yang masih memasang ekspresi dingin.

Niskala tak tahu kegilaan apa yang baru saja diciptakan. Ia tak pernah memiliki perasaan pada Dipta meskipun jika orang lain mampu menilai, Dipta memiliki segala hal yang tak dimiliki Bima. Tapi hatinya benar-benar tak bisa memikirkan lelaki lain selain Bima, masa lalu yang meninggalkannya dengan banyak kenangan indah.

"Seratus hari. Setelah seratus hari kamu bebas pergi, melanjutkan hidup. Itu kan yang kamu mau?" tanya Niskala sekali lagi dan tanpa ragu Dipta mengangguk mantap.

*****

Pembahasan panjang soal pernikahan hanya didengar oleh Niskala, meski sesekali dirinya harus menjawab beberapa pertanyaan dengan enggan. Ia sama sekali tak berminat, bahkan Niskala lebih memilih menyibukkan diri ketika Vani mencoba mengajaknya pergi untuk menyiapkan beberapa keperluan.

AFTER 100 [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang