Jangan lupa tekan ⭐ dan komen ya...
Happy reading...
*****
Suara langkah kaki terdengar begitu sibuk memecah keheningan di lorong sebuah rumah sakit terkenal di salah satu kota. Hiruk-pikuk para pegawai tak membuat suasana di sekitarnya terasa membaik, atau bahkan mungkin bisa jadi lebih buruk.
Sementara itu, seorang dokter muda sedang melakukan sebuah operasi pada salah satu pasiennya. Operasi yang sebenarnya sangat sering dilakukan, namun sekarang rasanya ia benar-benar bertaruh dengan nyawanya sendiri.
"Kamu harus bisa selametin dia, apapun caranya!"
Kalimat itu sejak beberapa jam yang lalu terus saja mengusiknya, mengganggunya dan hampir membuatnya kehilangan fokus.
Sejak tadi pula dia langsung panik saat mendengar Mita, sahabatnya mengalami kecelakaan tunggal. Bahkan ia hampir tak bisa berpikir jernih karena merasa ketakutan.
Niskala tahu tugasnya, bahkan ia lebih dari tahu. Apalagi sosok yang kini sedang diperjuangkan hidupnya adalah sahabatnya sendiri.
Mita sedang terbaring lemah di depannya, Niskala tahu itu. Ia juga bisa merasakan bagaimana napasnya begitu tenang karena obat bius yang merasuki tubuhnya. Tapi Niskala juga tak bisa berbohong jika tubuhnya terasa gemetar saat harus melakukan tindakan operasi kepada sahabatnya itu.
"Ayo... kamu pasti bisa Niskala, kamu harus! Demi Mita!" gumam Niskala berulang kali sambil melakukan pekerjaannya.
Hingga akhirnya operasi itu berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun, membuat Niskala diam-diam bersyukur dan berusaha menahan tangisannya.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja dan perawat yang mendampinginya mulai membersihkan peralatan, Niskala pun keluar untuk menemui orang-orang yang sejak tadi menunggunya dan juga Mita di dalam sana.
"Niskala, gimana keadaan Mita?" tanya Vani, ibunda dari Mita sekaligus wanita yang sudah hadir mengisi peran seorang ibu dalam hidupnya beberapa tahun terakhir.
"Operasinya lancar dan Mita sebentar lagi dipindah ruangan. Oh iya, Bunda kok jadi sendirian?" tanya Niskala setelah menyadari wanita paruh baya itu hanya seorang diri di depan ruangan operasi.
"Dipta lagi ngurus administrasi sama Adam, mungkin sebentar lagi mereka kesini."
Niskala mengangguk paham setelah itu dia pamit untuk membersihkan diri dan berjanji akan segera mengunjungi ruangan Mita.
Wanita itu berjalan dengan sedikit tergesa setelah membersihkan dirinya, ia benar-benar ingin segera melihat kondisi Mita sebelum melakukan pekerjaannya yang lain. Hanya untuk memastikan bahwa keadaan sahabatnya itu sedikit lebih baik.
"Niskala," panggilan itu membuat langkah Niskala terhenti. Dia tahu siapa yang memanggilnya, suara itu adalah milik Dipta, calon suami sahabatnya.
"Iya kenapa?" tanya Niskala setelah Dipta mensejajarkan langkah dengannya. Niskala tahu bahwa pria di sampingnya ini sedang dilanda rasa cemas yang sangat berlebihan. Bahkan wajah yang selalu tersenyum dengan semangat itu kini terlihat jauh lebih lelah dari biasanya.
"Soal tadi, maaf aku ngebentak kamu. Aku... aku terlalu panik. Aku gak bakal sanggup kalau Mita..."
Niskala mendaratkan sebuah tepukan pelan di bahu pria itu. Berusaha memberitahunya agar berhenti berbicara kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa jadi akan mereka hadapi.
"Udah, jangan bahas itu lagi. Operasinya lancar dan Mita udah pindah ruangan. Mita pasti kuat kok!" ujar Niskala berusaha menyemangati Dipta, walau sebenarnya ia sama hancurnya. Niskala juga tak membicarakan soal bagaimana dirinya yang merasa gugup di dalam ruangan operasi tadi. Mengatakan bahwa operasi tersebut berjalan lancar saja itu sudah lebih dari cukup baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 100 [REVISI]
RomantizmNiskala tak bisa menolak permintaan sahabatnya, begitu juga dengan Dipta yang terpaksa menikahi Niskala karena permintaan terakhir kekasihnya. Mereka sepakat akan menyudahi pernikahan ini setelah seratus hari kepergian Mita. Tapi seiring berjalannya...