Ada yang mengatakan menjadi anak bungsu adalah keberuntungan karena selalu akan mendapat limpahan kasih sayang. Namun, bagi Jaejoong itu tidak berlaku. Entah sejak kapan ia merasa semesta tidak adil baginya, atau bukan semesta yang tidak adil, melainkan dunia yang ditempatinya yaitu keluarga. Ya, dalam dunia kecilnya hanya ada orang yang dikenalnya bukan. Dan hal itu ia dapatkan dari orang yang dikenal dengan baik.
Tidak pernah mendapat perlakuan spesial sejak ia duduk dibangku sekolah dasar, atau mungkin lebih dari itu? Jaejoong tidak bisa mengingatnya. Ia payah mungkin dalam hal memori, mungkin juga ia sengaja ingin menghilangkan memori itu. Tidak pernah mendapat perlakuan spesial dari orang tua membuat ia mengiri kepada saudarinya. Hal wajar, karena setiap anak pasti ingin mendapat perlakuan baik, spesial, penuh kasih sayang yang sama dari orang tua mereka. Begitu pun keinginan Jaejoong, tidak muluk-muluk.
Namun, itu hanya sekedar impian dan keinginan. Faktanya, ia bagaikan berjuang sendiri untuk dirinya agar lebih baik. Perlakuan tidak adil itu terus menerus ia terima hingga ia berhasil lulus kuliah dengan uang sendiri. Benar, orang tuanya tidak memberikan biaya untuk kuliahnya sementara untuk saudarinya selalu ada. Ia kadang bertanya-tanya, apakah dirinya adalah anak dari keluarga ini? Tetapi, ia terlalu kerdil untuk menanyakan hal itu kepada orang tuanya. Ia tidak ingin dikatakan tidak tahu diri. Dan bersyukur bisa diberi tempat tinggal, makan dan uang saku yang mungkin tidak seberapa.
Mungkin saja ia terlalu banyak mengeluh karena terlalu iri, ya bisa saja. Akan tetapi, ia tidak bisa membenci saudarinya. Meski demikian saudarinya begitu baik kepadanya. Sering mentraktirnya makan diluar, barangkali ia hanya kesal dengan perlakuan mencolok yang berbeda diterimanya.
"Hari ini Jiyoung akan kedatangan calon suaminya, kau jangan ke bawah dahulu selama itu, Je."
Jaejoong mendesah, ia menoleh sekilas, baru saja ia tiba dari mengecer lamaran kerja ke sana kemari, bukannya ditawarkan sesuatu untuk mengganjal perut seperti sang kakak, ia bak diusir denga kejam.
"Iya Ma."
"Mama bukan tidak ingin mengenalkanmu tetapi Mama lupa membelikan kau pakaian yang bagus, kau tahu kekasih Jiyoung orang yang berkelas, Mama takut saja jika kau mengacau nantinya."
Ya, ia akan mengacau nantinya karena dirasa tidak cukup pantas berada ditempat orang berkelas. Jaejoong mengangguk, ia mengambil satu cup mie instan, karena yakin hanya itu yang ada untuknya meski ibunya sedang memasak enak sekarang. "Aku akan di kamar saja."
"Bagus, kapan kau mendapat pekerjaan? Lihatlah Jiyoung, pekerjaannya bagus, setelah kuliah langsung direkrut perusahaan bagus karena dia berprestasi sementara kau, kau hanya menghabiskan uang untuk kuliah tapi—"
"Uangku Ma, aku bekerja untuk membayar kuliahku sendiri, tenang saja begitu aku mendapat kerja dan menghasilkan uang sendiri aku pasti akan angkat kaki dari rumah ini, Mama tidak perlu khawatir, aku sedang gigih-gigihnya berjuang agar mendapat pekerjaan apa saja yang lebih bagus dari kerjaanku semula!" Jaejoong hendak menangis mengatakan itu, ia menskakmat ibunya dengan mengoceh yang jauh lebih panjang dari sang ibu. Rasa sakit hati itu menggumpal, ia tahu tidak bagus bertengkar dan mendebat ibunya, tapi ini cukup keterlaluan baginya. Ia bagaikan beban tinggal di sini. Andai bisa, ia ingin wanita itu menghitung semua biaya selama ia dibesarkan agar kelak ia bisa membayar semuanya, agar nanti ia tidak mendapatkan sakit hati karena dibedakan seperti ini.
Lagi, perandaian itu ingin ia mohonkan, andai ia bisa memilih keluarga mana ia dilahirkan maka tentu, ia tidak akan memilih keluarga ini.
.
.
.Silahkan diisi kolom komentar dan love yaa.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Love
FanfictionYunJae / GS / DLDR / Lil bit ANGST. Jaejoong = Jennifer = Jaejoong! No War.