Gelak tawa terdengar dari lantai bawah, nyaris kontras berbanding terbalik dengan keadaan Jaejoong, wanita itu menangis tersedu-sedu dengan memunguti beberapa benda yang dianggapnya berharga. Pertengkaran kecil yang bermula di dapur tadi mendapati sakit hati tak terkira sebagai balasan yang ada. Ia sungguh tidak mengerti mengapa ia begitu dibedakan oleh orang tuanya?
Sejujurnya ketika kecil ia mendengar perbincangan mereka tentangnya, dan menurut Jaejoong itu adalah sesuatu yang konyol mereka perdebatkan. Perbedaan usianya dan kakaknya hanya satu tahun. Dan bukan salahnya jika mereka mengandung anak lagi sementara masih memiliki bayi. Lalu, mengapa semua ini bak dilimpahkan kepadanya? Sungguh, ini sesuatu yang membuat ia selalu bertanya apa kehamilan ibunya kala itu adalah salahnya? Mereka yang berbuat, mengapa ia yang disalahkan?
Jaejoong menatap kamarnya yang tidak seluas kamar sang kakak, ia melihat photo ketika dirinya lulus SMA, orang tuanya memang hadir dan berphoto bersamanya, itu karena Jiyoung meminta dan sang kakak juga hadir. Tapi, ketika ia di wisuda, hanya Jiyoung hadir memberikan bucket cokelat dan bunga. Meski begitu, ia senang sekali. Menyentuh bingkai photo itu, Jaejoong terkejut ketika pintu kamarnya diketuk, ia segera menyeka pipi dan kedua matanya yang sembab dan segera membuka pintu.
"Mengapa kau mengurung diri di kamar? Calon iparmu ada dibawah, ayo-"
"Biarkan dia di kamar Jiyoung, lagi pula tidak ada yang bagus untuk dikenakannya menemui calon iparnya yang kaya raya, Mama malu!"
Sahutan sang ibu membuat Jaejoong semakin sakit hati. Mengapa perbedaan itu terlalu kontras? Ia ingin menangis lagi, namun menahan sekuat tenaga.
"Bukan masalah Ma, aku membelikan banyak pakaian untuk Jeje bersama dengan kekasihku, kelak pun aku akan membawa Jeje tinggal denganku," Jiyoung berucap dengan lembut dan menggandeng lengan Jaejoong.
"Apa?! Tidak Jiyoung, dia akan mengganggumu, lagipula dia sudah besar, kau harus bersama suamimu berdua saja!" terdengar tidak senang, jelas ibunya tidak setuju dengan keputusan sepihak itu.
Jaejoong menggeleng pelan, ia tetsenyum kepada Jiyoung dan berucap, "Tak apa Eunni, aku sedang tidak enak badan. Eunni kembali lah ke bawah, aku beristirahat saja!"
Jiyoung ragu, ia tidak ingin sang adik terlihat menyedihkan. Apa lagi ia tidak bisa menutup mata atas sikap ibunya. Sebisa mungkin ia sudah berbicara dengan sang ibu tentang memperlakukan Jaejoong sama dengannya dan tidak membedakan, tapi ibunya tetap saja begini. Padahal mereka adalah saudara, ia tidak ingin Jaejoong memiliki dendam kepadanya karena ini.
Dengan terpaksa dan tarikan dari sang ibu, Jiyoung melangkah menjauh dari kamar Jaejoong. Ia tidak tega melihat Jaejoong dan rasanya ingin menangis.
———
Keputusan Jaejoong sudah bulat, ia sudah merapikan semua yang dibutuhkannya, ia juga sudah mempersiapkan uang dari tabungan yang ia ambil dari celengan hasil dari sisa kebutuhannya sendiri. Mengendap-endap keluar, Jaejoong tidak ingin ada seorang pun mendapatinya keluar kamar dengan tas cukup besar dibawa. Ya, ia akan kabur dari rumah ini.
Berharap ada sesuatu yang lebih baik menantinya di luar sana. Bersama keluarganya sama saja dengan ia bagaikan tinggal sendiri, memenuhi kebutuhan diri sendiri, sementara mereka tidak—begitu peduli. Menurut Jaejoong tidak akan ada bedanya jika ia tinggal sendirian kan?
Berhasil keluar rumah, Jaejoong perlahan melangkah menuju ke luar pagar rumahnya. Keluarganya bukan lah keluarga tidak berada. Bisa dikatakan mereka cukup berada dengan komplek perumahan bagus ini. Tetapi, untuknya mereka selalu tidak ada. Melangkah dengan cepat saat ia sudah menutup pintu pagar dengan pelan, Jaejoong tidak punya tujuan kemana dirinya. Tetapi, ia bisa ke tempat sauna sebagai tempat sementara kan? Ya, ia akan ke sana dan merancang rencana, kemana selanjutnya.
———
Mendesah pelan ketika ia sudah tiba di sauna, Jaejoong tersenyum puas. Ia membeli beberapa cemilan dan juga minuman seraya melihat-lihat di internet tentang lowongan pekerjaan. Ia akan ke perpustakaan kota dan menulis surat lamaran di sana. Well, apakah ia bisa dikatakan sebagai seorang run away sekarang? Entahlah, bahkan ia juga akan mengganti nomor ponselnya setelah ini. Sudah menandai beberapa info lowongan pekerjaan, Jennifer tersenyum lebar.
Ia memang tidak tahu apakah hal ini benar ia lakukan atau tidak, tapi nampaknya ia sudah tidak memiliki muka lagi jika kembali ke rumah itu setelah melarikan diri. Ya, ia pasti akan dimarahi habis-habisan, atau bisa saja ia mendengar kata menyakitkan yang akan mencabik perasaannya lagi. Mereka malu memiliki anak sepertinya. Ia pun tidak mengerti.
"Malu?" gumam Jaejoong, lantas ia tertawa dengan geli. Teringat ucapan sang ibu tentangnya, membuat ia tidak bisa merasa baik-baik saja, hal itu bagaikan lelucon, kesedihan dan sakit hati menjadi satu.
Ah, andai lagi-lagi ia bisa menanyakan mengapa mereka memilih untuk melahirkannya jika ia diperlakukan seperti ini. Seharusnya ia tidak dilahirkan di keluarganya sekarang. Bukankah masih banyak keluarga lain yang menginginkan anak, ia pasti akan jauh lebih baik jika berada di keluarga berbeda. Astaga, Jaejoong terlalu banyak mengeluh. Ia tahu dengan pasti bahwa inilah yang disebut dengan takdir. Semestinya ia tidak perlu terlalu banyak mengeluh dan mensyukuri semuanya.
Ya, bersyukur akan menjadikan dirinya jauh lebih baik. Jadi, ia memilih tidak akan mengeluhkan hal ini lagi ke depannya dan berusaha lebih keras.
"Baiklah Jaejoong, sekarang fokus pada dirimu dan raihlah kesuksesan hingga mereka berebut mengakuimu sebagai anak!"
Tekad Jaejoong sudah bulat dan sangat kuat. Ia yakin, dirinya akan sukses dan membuat orang tuanya terkejut dengan dirinya. Ya, saat itu pasti akan tiba!
.
.
.Eyd ga beraturan, typo dimana" no edit.
Tolong hit love ya. Dan jangan lupa komen.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Love
FanfictionYunJae / GS / DLDR / Lil bit ANGST. Jaejoong = Jennifer = Jaejoong! No War.