BURU BURU NIKAH (3)-(OnGoing)

Bab 305. Isya (5)

Mencari...

Masuk Daftar
RUMAH
DAFTAR NOVEL
SERVER DISCORD
Rumah  Pernikahan Predator Bab 305 - Isya (5)



Sebelumnya Lanjut

Pernikahan Predator — Bab 305. Isya (5)

Penerjemah: Atlas / Editor: Regan

“Agghhh!”

Anak yang berteriak itu bahkan tidak berukuran setengah dari Isha. Dari ketidakpercayaan di wajahnya, tampaknya dia telah dicintai dengan baik oleh orang tuanya, sebelum dia dijual sebagai budak.

"Tolong, bantu aku!"

Seperti budak Kurkan lainnya, dia kemungkinan besar telah dijual karena dia adalah keturunan campuran. Itu adalah praktik umum, selama beberapa hari pertama penahanan mereka, untuk memukuli mereka dengan jeruji besi untuk mematahkannya. Tapi anak laki-laki ini menganggapnya lebih buruk daripada kebanyakan, dan penjinak budak mengalihkan pandangannya ke Isha.

"Kamu," katanya, menunjuk dengan batang besinya. "Kemarilah. Aku hanya akan mengalahkanmu sedikit.”

“……”

"Atau kamu bisa menerima pukulannya sebagai gantinya."

Senyumnya memperjelas niatnya. Dia sengaja mencoba memprovokasi Isha, dan ketika pemberontakan yang biasa muncul, sebuah tangan terulur untuk meraih lengannya.

"Isha," bisik Mel, tenang tapi tegas. "Kamu akan mendapat masalah jika kamu menyebabkan masalah lagi."

Dan kemudian dia melangkah maju di depan anak yang meringkuk.

"Berhenti," katanya. "Atau kamu akan mati."

Penjinak itu tertawa terbahak-bahak.

“Sepertinya banyak dari mereka yang ingin dipukul hari ini,” katanya sambil mengalihkan target tanpa ragu. Tapi Mel adalah korban yang kurang memuaskan, menerima pemukulan dalam keheningan yang memuaskan. Penjinak mengerutkan kening dan menghancurkan dahi anak itu dengan dahinya.

“Ini sangat menyakitkan, kan?” dia bertanya dengan sinis.

“…….”

“Kamu adalah budak rendahan. Aku akan berhenti jika kamu memohon padaku.”

Mel meludahkan darah.

"Aku Kurkan," katanya dengan bibir berdarah. "Kamu tidak bisa menghancurkan harga diriku."

Pernyataan itu tidak membuat sang penjinak terkesan. Dia tertawa keras.

"Kebanggaan?" Dia mengulangi, seolah-olah itu lelucon. "Kebanggaan apa yang dimiliki orang-orang yang menjual orang-orang mereka sendiri sebagai budak?"

Mustahil untuk memperdebatkan kebenaran tercela itu.

"Kamu akan dikirim ke lubang," tambah penjinak dengan anggukan.

“……!”

Mata Mel melebar saat melihat kata hole. Itu adalah hukuman yang paling ditakuti para budak. Mereka akan dipukuli sampai hampir mati, dan kemudian dijatuhkan ke dalam lubang yang tidak ada cahayanya. Selama kurungan mereka, mereka tidak akan diberi air.

Itu adalah hukuman yang brutal, dihabiskan dalam kegelapan total sampai pintu kayu di langit-langit terbuka lagi.

Ancaman itu bahkan mengejutkan penjinak lain, yang dengan cepat mencoba mencegahnya.

"Saya pikir hukuman lain akan lebih baik," katanya gugup. "Kamu ingat apa yang terjadi terakhir kali ..."

Penjinak pertama mendecakkan lidahnya. Anak Kurkan terakhir yang dikurung di dalam lubang sudah gila. Ketika dia dikeluarkan, dia bahkan tidak tahu namanya sendiri. Untuk sesaat, penjinak itu berpikir, dan kemudian dia menggelengkan kepalanya.

"Itu tidak masalah," katanya. "Orang yang membelikannya menyukai hal-hal yang tidak biasa."

Si penjinak menatap mata masing-masing Kurkan, satu per satu, diakhiri dengan Isha, yang tatapannya masih membara dengan pemberontakan meski begitu banyak pelajaran. Pengemudi itu tersenyum lebar.

"Bahkan bukan ide yang buruk untuk membunuh salah satu dari mereka," katanya, meraih Mel. "Sebagai contoh."

“Mel! mel! Mel!”

Orang-orang Kurkan menangis putus asa, tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku akan baik-baik saja," kata Mel tenang, mencoba menghibur anak-anak Kurkan bahkan sampai sekarang.

Dia pergi dengan tekad di wajahnya. Dan dia tidak kembali untuk waktu yang lama.

Setiap hari dia tidak kembali, kecemasan Isha membengkak. Dia mencoba menyelinap pergi untuk masuk ke dalam lubang, tetapi tertangkap setiap saat. Hari-hari berlalu, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.

Seminggu berlalu sebelum Mel kembali.

"Berkumpul!" teriak si penjinak, dan setiap mulut Kurkan tiba-tiba mengering saat mereka mendekat.

“Mel…”

"Oh…"

Mel mengikuti si penjinak ke dalam ruangan, terpincang-pincang, dengan kepala tertunduk. Wajahnya tertutup oleh rambut tipisnya. Tapi mata Isha beralih ke tangannya, di mana setiap kukunya retak dan patah. Mungkin karena mencoba keluar dari lubang, mencakar pintu dengan jarinya.

Penjinak mendorong Mel ke tengah-tengah simpul anak-anak Kurkan, untuk memastikan semua orang bisa melihatnya, lalu menepuknya, seperti isyarat.