BURU BURU NIKAH (3)-(OnGoing)

Bab 306. Isya (6)

Perlahan, Mel berlutut. Kemudian dia menundukkan kepalanya sampai dahinya menyentuh lantai, sebuah penghinaan penuh. Ketika dia mengangkat kepalanya, matanya tidak fokus, menatap lurus ke depan seolah mati.

"Saya hanya seorang budak yang rendah hati," bisiknya, dengan suara yang pecah melalui bibir yang gemetar. “Saya tidak akan pernah memberontak lagi. Saya seorang budak. Aku akan patuh pada para penjinak.”

Isha menggigit bibirnya sampai dia merasakan darah saat penjinak menepuk bahu Mel, wajahnya dipenuhi kepuasan. Dan kemudian dia tertawa, suaranya menggema di telinga Isha.

Penjinak itu akhirnya berjalan pergi, meninggalkan Mel dalam keheningan yang canggung. Tak satu pun dari Kurkan berani mendekatinya, tapi Isha akhirnya pergi kepadanya.

“Mel.”

Untuk waktu yang lama, tidak ada jawaban. Matanya tetap terpaku pada lantai. Ketika mereka akhirnya melayang ke atas, mereka masih tidak fokus dan tidak melihat.

"Aku ingin pulang," bisiknya.

Tidak ada yang bisa Isha katakan. Dia ingin memberi tahu temannya bahwa mereka akan melakukannya, bahwa suatu hari mereka akan pulang ke gurun Kurkan, tetapi dia tahu itu tidak mungkin. Dia tidak bisa berbohong, tetapi dia meraih tangan Mel, mencoba menghiburnya.

Anak laki-laki lainnya menangis.

"Maafkan aku," katanya, meremas tangan Isha ke belakang.

Malam itu, Mel gantung diri.

Isha adalah orang yang menemukan tubuhnya yang tak bernyawa.

“……”

Tubuh itu tidak bergerak dalam kedipan cahaya obor yang redup. Isha menatap, kosong dan tidak percaya, tetapi mata Mel tidak terbuka. Tidak peduli berapa lama Isha menunggu, dia tidak akan pernah membuka matanya lagi.

Isha tidak mencoba memanggil namanya, atau membangunkannya. Dia tidak mencoba menghangatkan tubuh yang dingin itu, atau mengembalikan detak jantung yang telah berhenti. Dia tahu semua itu akan sia-sia. Dia telah mencoba semuanya berkali-kali sebelumnya, untuk begitu banyak orang lain.

Seketika ia teringat anak tak bernama yang telah meninggal menggantikannya, dan ia teringat doa.

"Semoga kamu ..." Suaranya bergetar, serak. “Semoga kamu beristirahat seperti pasir gurun…”

Itu terlalu sulit. Dia mengertakkan gigi saat rasa sakit karena kehilangan menusuknya, membakar di dadanya. Rasanya seolah-olah api akan meledak darinya jika dia bahkan mencoba berbicara.

Ketika anak-anak Kurkan lainnya menemukan tubuh Mel, mereka berteriak memanggilnya.

“Aghh!”

“Mel…Mel…!”

Isha melihat tubuh Mel tergantung di antara semua anak yang menangis, tanpa ekspresi. Dia mendengar pintu besi berayun terbuka, dan para penjinak masuk sambil berteriak.

"Kembali! Kembali!"

Orang-orang Kurkan menahan air mata mereka karena teriakan marah, memaksa kaki mereka bergerak untuk menyingkir. Tapi Isha tidak bergerak. Dia tetap di tempatnya, mendengarkan diskusi cepat para penjinak tentang apa yang akan mereka lakukan dengan tubuh itu.

"Dia akan dijual dengan harga bagus, nasib buruk."

"Yah, kita harus melakukan sesuatu sebelum dia mulai bau."

"Mengapa tidak memberinya makan untuk anjing?"

Mendengarkan dengan tenang, tatapan Isha bergeser ke sudut, di mana sebatang besi tergeletak di atas anglo yang padam. Ujung bilahnya tumpul, tapi itu cukup untuk melakukan pekerjaan itu.

Ketika dia memikirkan apa yang akan dia lakukan, dia tahu itu gila. Dia seharusnya tidak melakukan ini. Tapi amarahnya lebih besar dari semua itu.

"Siapa yang tahu bajingan kecil itu akan bunuh diri karena harga diri?"

“Savage, itu sebabnya mereka binatang. Itulah yang dilakukan orang barbar.”

Tidak semuanya harus dilakukan dari rasionalitas dingin.

"Penjinak," kata Isha lembut.

Penjinak, yang telah mengkhawatirkan omelan dari pedagang budak, mengayunkan kepalanya, dan Isha bergerak sebelum dia bisa bereaksi.

Batang besi panjang dengan ujung tumpul menusuk tepat di lehernya, dan darah penjinak memercik ke tangan Isha. Dia tersenyum.

“…Agghhh!” Penjinak itu berteriak, matanya melotot, berurat merah.

"Ini Kurkan," bisik Isha.