Suara cicitan burung mengantar suasana pagi yang begitu damai, di kompleks perumahan elite di daerah kawasan Kota Metropolitan. Pagi itu embun masih terlihat membasahi dedaunan yang ada di halaman belakang rumah kediaman keluarga Bagaspati."Bangun!"
Suara teriakan Jeano memecah ke heningan pagi di kamar sang adik, yang kini masih terlena dalam alam mimpinya.
"Mana topi punya gue, yang lo pinjem minggu lalu?" lanjutnya, menyibakkan selimut yang menggulung tubuh Jino.
Alih-alih bangun, Jino justru membalikkan tubuhnya memunggungi sang kakak, yang sudah terlihat rapi dengan pakaian olahraga lengkapnya.
"Di lemari!" gumamnya dengan suara berat mengantuk, seraya kembali menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya kembali.
Jeano segera membuka lemari pakaian sang adik kemudian mencari topi miliknya. 10 menit berlalu, bahkan kini isi lemari Jino sudah terlihat tak karuan & berantakan, namun Jeano tak juga menemukan barang yang ia cari.
Karena merasa jengkel tak menemukan barang tersebut, Jeano membalikkan tubuhnya kembali berjalan ke arah ranjang sang adik, lalu naik ke atas sambil menarik tubuh adiknya dengan paksa bak menarik sebuah boneka kertas.
Perbuatan tak berperasaan sang kakak, sontak membuat Jino tersadar dari tidur pulasnya. Dengan rambut berantakan & mata terbelalak kaget, ia seketika bangun dari berbaringnya. Tak terbayangkan betapa kagetnya ia saat sedang pulas tidur tiba-tiba saja di tarik paksa untuk bangun.
Persekian detik Jino terdiam dengan wajah bak orang linglung, hingga suara tawa menyebalkan sang kakak kini menyadarkannya, "Apaan sih, lo bang? Lo pikir gue sapi apa?!" bentak Jino.
Seketika pagi damai berubah gaduh di kediaman Bagaspati. Suara nyaring dari kamar Jino membuat orang tuanya terbangun. Jo terpaksa membuka kedua matanya yang masih berat, kemudian menghembuskan nafas kasar saat mendengar keributan yang di buat kedua anaknya di pagi buta ini.
"Apalagi sekarang?" gumam Jo dengan penuh kesal.
Ia kemudian turun dari ranjangnya & berjalan menuju kegaduhan yang dibuat kedua anaknya, dengan mata masih berat & wajah berantakan. Begitu pintu kamar Jino terbuka, ia sudah di suguhi perang mulut kedua anak kembarnya di sana.
"Kapan sih, lo bisa belajar ngehargain barang orang, huh?" delik Jeano.
"Gue bilang kan, di lemari!" balas Jino dengan emosi membara, seraya menunjuk arah lemari yang kini berantakkan karena ulah sang kakak.
"Kalo ada juga, ngapain gue bangunin kebo kayak lo!" Jeano menoyor dahi sang adik, dengan gigi merapat penuh gemas menahan emosi.
Jino berdecak kemudian membuang muka malas, "elah, topi gituan doang berapa duit, sih?"
"Yang jadi masalah, itu topi hadiah dari Mami. Ngerti gak sih Lo?!"
Jo yang menyaksikan itu mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu masuk untuk menghampiri kedua anaknya di dalam. Setelah berdiri tepat di samping keributan mereka, suara hembusan nafas kasar keluar dari mulut Jo & berhasil membuat perdebatan kedua anaknya terjeda sejenak untuk menoleh ke arah sang ayah sekarang.
"Kalian nggak bisa ya, gak berantem di pagi buta gini? Kalian mau, Papi di usir tetangga karna ulah kalian?"
Kedua kakak adik itu kemudian tertunduk diam setelah Jo memprotes tingkah mereka, yang membuatnya benar-benar lelah.
"Maaf Pih!" ucap mereka bersamaan.
Jo kembali menghembuskan nafas seraya memijit keningnya. Saat tengah pening dengan segala keributan anaknya, tiba-tiba pandangan Jo terfokus pada sang sulung yang sudah terlihat rapi dengan pakaian olahraganya,"Kamu mau kemana Bang?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HELL LOVE CHOICE || (END) ✔
Fanfiction[END] Mari tentukan neraka seperti apa yang akan kita jalani. Kamu dapet janin yang di kandung Ayyara & saya dapet Ibunya. Gimana, deal? Mari bertemu di takdir selanjutnya sebagai apapun, 'MANTAN SUAMI' "Be my choice of love, not hell my choice. Se...