H L C 19

17 4 0
                                    


“Ice cream?”

Jeano memberikan sebungkus es krim coklat yang baru saja ia beli dari Mini Market yang ada di sekitar area taman Kompleks tempat mereka tinggal.

Seharian ini Ayyara terus memikirkan Kenzo, hingga terpaksa mengontak Jeano untuk bertemu & sekedar merileks kan segala pikiran rumit di kepalanya. Meski Jeano terpaksa harus meninggalkan Nadia yang kini tengah berada di rumahnya.

Ayyara pun tersenyum tipis lalu mengambil es krim yang baru saja di tawarkan Jeano padanya, “Makasih.”

Jeano duduk di dekatnya, lalu menoleh ke arah Ayyara setelah meminum minuman ringan yang ia beli.

“Lo lagi ke pikiran apa, sampe-sampe ngajakin gue ketemuan di sini?” tanya Jeano seraya kembali meneguk minuman miliknya.

“Aku lagi ke pikiran Mas Agha.” jawab Ayyara, sambil merunduk memandangi es krim yang kini hampir meleleh di tangannya.

Jeano hanya tersenyum lalu membawa pandangannya ke depan, menatap air mancur yang berada di taman Kompleks tempat mereka kini duduk. “Kayaknya, lo sekarang punya rasa ya, sama dia?”

Ayyara merunduk menatap permukaan perutnya, ia hanya diam seribu bahasa. Mau bagaimana pun kondisinya sekarang terasa amat membingungkan baginya.

“Kita bisa pisah kok nanti, kalo janin di perut lo udah lahir. Gue gak bakalan maksa lo buat ngejalananin semuanya tanpa di dasarin rasa cinta,” Jeano menoleh, “dengan begitu, tanggung jawab & rasa bersalah gue terbayar. Ya … walaupun gak se nilai sih, dengan apa yang harus lo korbanin.”

Hening di antara mereka sekerang, Ayyara masih tetap dengan pikirannya & Jeano pun begitu. Rasanya membicarakan hal itu sekarang amat lah membuat pikirannya makin kusut. Hingga akhirnya Ayyara memilih mengalihkan pembahasannya.

“Btw, thank’s ya udah mau dateng nemuin aku. Kamu sampe harus ninggalin pacar kamu di rumah.”

“Kalo maksud lo Nana, dia bukan pacar gue. & sampai kapan pun gue gak bakalan pacaran sama dia.”

"Kenapa? Apa karena Kak Nana mantan Aa?” ucap Ayyara.

Jeano memutar kepalanya ke samping menghadap Ayyara, “Mungkin itu salah satunya. Tapi ada hal lain yang lebih kuat,”

“Apa?”

“Gue gak mau di cap sebagai peng khianat sama sahabat se penanggungan gue. Bagi gue, Chandra itu Orang yang paling ngerti gue di banding siapa pun.”

Ayyara tiba-tiba tersenyum jahil, “Cieee…!” godanya.

Jeano hanya mengangguk sambil tersenyum tersipu menannggapi ucapan Ayyara.

“Wajah bule, ganteng, smart, di luar keliatan emosian sama dingin, ternyata dalemnya soft kayak squishy ya? Pantes aja Kak Nana sama cewek-cewek ngejar-ngejar kamu.”

Jeano tersenyum sambil menoleh pada Ayyara, “ternyata selain menjajah, Belanda juga jago puji memuji, ya?”

“Apaan sih, mentang-mentang aku keturunan Belanda. Kan bukan berarti aku penjajah.”

Jeano pun tertawa dengan lepasnya merespon ucapan Ayyara.

"Udah deh, gak lucu tau!” gerutu Ayyara.

"Iya, iya, sorry deh!” Jeano mengurangi tawanya, “balik yuk! Sebelum ada yang curiga sama kita.” ia bangkit dari kursi yang di dudukinya.

Ayyara mendongak menatap Jeano yang kini tengah menutupi kepalanya dengan kupluk jaket miliknya.

Jeano menghela nafasnya, “nyebelin banget sih cebong gue. Harusnya minta cium atau minimal minta gue peluk gitu!” gumamnya.

HELL LOVE CHOICE  || (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang