Dalam cerita cinta akan ada selalu tokoh antagonis yang menjadi lawan main sang pratagonis. Tak ayal, sang antagonis selalu melakukan segala cara untuk menang dalam segala hal melawan sang pratagonis. Walau berakhir kalah.
Seperti kejahatan yang akan kalah oleh kebaikan. Seperti itulah sosok antagonis yang digambarkan dalam dongeng.
Perkenalkan namanya Verla, dia adalah antagonis dalam cerita antara Arthur dan Taran. Rasanya jika disebut antagonis terlalu jahat, sebut saja dia pemeran kedua.
Dia adalah dewa dari ras naga, salah satu orang yang diangkat oleh Arthur menuju Abys. Dahulu Verla memikirkan, apa semua kekuatan yang dimilikinya tidak cukup untuk membuatnya menguasai dunia? Hidup ribuan tahun namun tak kekal, mempunyai kekuatan yang luarbiasa namun akan sirna juga. Apa semuanya akan sia-sia belaka?
Saat kematiannya Verla pikir ia akan mati sendiri lagi. Namun siapa sangka? Sosok Art yang bercahaya datang membawa secercah harapan baginya.
"Verla the queen of dragon. Maukah kau mengikutiku? Menjadi salah satu dewa yang menemaniku mengatur dunia."
Rasa ngeri, hormat, dan kagum menjadi satu. Sosok Art dalam ingatannya amat sangat berbekas dalam jiwanya.
Tahun demi tahun Verla lalui di Abys tempat dimana para dewa tinggal, tempat dimana orang yang ia cinta berada. Ah, sudahkah ku katakan bahwa Verla mencintai sang dewa pertama? Belum? Maaf.
Kalian tidak bisa menyalahkan hati Verla yang berlabuh tidak tahu tempat, padahal ia tahu sang dewa sudah punya kekasih cinta abadi. Sungguh! Verla tidak berharap apa-apa. Ia hanya akan mengagumi sosok Art dalam semi sadarnya. Ia tahu, jika berjuang akan bagaimana ending akhirnya.
Verla mencintai Art, namun disatu sisi ia juga menghormati sosok Taran. Mereka bagai pasangan dalam dongeng yang kerap dia dengar dari para manusia. Eksistensi mereka mampu mengguncang semesta, sungguh luar biasa.
Verla pikir mencintai Art dalam diam, melihat dia dalam jarak pandangnya, mengaguminya tanpa perlu mengajaknya bicara, sudah cukup untuknya.
Pembohong, biasanya sangat jago membohongi dirinya sendiri. Ibarat penipu yang tertipu oleh dirinya sendiri.
Namun, dunia kecil Verla seakan hancur saat ia mendengar bagaimana sosok yang ia cintai terkapar tanpa nafas lagi dalam dekapan sang kekasih. Ia melihatnya, bagaimana cara Art menusuk jantungnya sendiri, bagaimana berdukanya Taran atas itu semua, dan ia ada disana saat Taran mengamuk menghancurkan Abys.
Ia pikir Taran seharusnya merelakan Art pergi, jika memang kepergiannya adalah keputusannya sendiri. Namun, Verla sadar bagaimana eksistensi Art dalam hati Taran dan dirinya.
Ia ada disana saat empat dewa tertinggi dan penyeimbang datang dan menyegel Taran dalam neraka terdalam. Tak ada lagi sosok Taran, yang ada hanya Sussyle.
Puluhan, ratusan, ribuan? Entah berapa tahun Verla menyaksikan Taran mendekam dalam penjara. Sementara ia? Hanya bisa manangis dalam diam.
Lantas, bolehkah Verla egois sedikit saja? Ia mendengar bahwa Sussyle hendak menyerang Abylion untuk mengambil Art yang telah bereinkarnasi menjadi Arthur. Ia tahu, ia harusnya tidak membuat ingatan Arthur kabur tentang sang kekasihnya. Namun, Verla sedikit egois. Ia tidak ingin melihat Art dan Taran kembali bersama.
Walau begitu, cinta memang gila. Cinta menembus batas waktu, sekuat apapun ia berusaha memisahkan mereka berdua hanya ada pertemuan kembali yang manis menanti mereka. Kapankah sebenarnya Verla bisa menang? Tidak akan, karna sejatinya pemeran kedua akan selalu berakhir sengsara.
Verla memandang datar dimana Arthur dan Sussyle kembali bersama. Seakan kehadirannya hanya datang membawa petaka bagi kedua insan itu untuk bahagia, apa ini memang perannya? Bukan pemeran kedua, melainkan pemeran antagonis yang membuat kisah cinta antara pemeran utama bahagia? Ironis.
"Lalu untuk apa penantianku ini? Sia-sia belaka."
Menyedihkan.
•••
Arthur menatap ibunya seakan meminta penjelasan, "lalu bagaiman caranya kita pergi dari sini?"
Lauren akhirnya sadar, "Ah, tenang saja. Kita akan keluar dari sini, kita tinggal menunggu waktunya."
Sussyle dan Art berpandangan bingung, "Bagaimana caranya?"
"Kita akan kembali jika waktunya telah tiba."
Arthur mengangguk walau tak memgerti. Ternyata kebiasaan berbicara kurang jelas Lucion diwarisi dari sang ibu, "Lalu ibu dan Tia? Apa kalian juga dapat keluar?" Tanyanya agak khawatir.
Sussyle mengangguk, "Bukankah kita sudah terikat kontrak jiwa?" Ia menunjuk pada lambang mawar ditangannya.
Arthur mengerti, "Oh, apa semuanya akan sama saja?"
Sussyle mengangguk, "Iya."
Kini Arthur belik memandang ibunya, "Lalu ibu? Bukankah jiwa ibu tersegel, itu artinya ibu tidak punya tubuh di dunia nyata kan?"
Lauren tidak bisa menahan tawanya, ia tertawa sebelum menjelaskn, "Haha, apa ayah mu belum memberitahu mu bahwa dia menyimpan tubuh ibu?"
Arthur langsung membayangkan tubuh tanpa jiwa ibunya yang ada ditangan sang Ayah, "Heh? Apa- bagaimana?"
Lauren tersenyum, "Ayahmu itu memang terlihat biasa saja. Namun nyatanya dia selalu menangis saat menggenggam tangan ibu loh~."
Arthur mengangguk, "Ternyata ayah secinta itu pada ibu? Tapi yang kudengar ibu sudah tiada."
Lauren memasang wajah cengo, "Hah? Kondisi tubuh ibu di dunia nyata bisa disebut dalam kondisi koma. Ibu masih hidip, bukan begitu Sussyle?"
Sussyle mengangguk mengiyakan.
Arthur mangut-mangut mengerti, "Jadi begitu."
Arthur kembali teringat satu hal, "Ibu, kita sekarang tidak tinggal di Abylion melainkan di Scartalen. Di sana ibu sudah dikenal telah tiada, bagaimana cara ibu nantinya muncul? Tidak mungkin kan ayah berkata bahwa ibu bangun dari kematian? Itu gila."
Lauren melihat kupu-kupu biru yang datang entah darimana dan langsung menuju mereka bertiga, "Soal itu? Biarkan ayahmu pusing memikirkannya. Kalau begitu, sampai jumpa lagi Sussyle. Kami pamit pergi dulu."
Sussyle membungkukkan sedikit badannya memberi salam pada Lauren.
"Sampai jumpa."
Kedua ibu dan anak itu pergi bersama dengan kupu-kupu yang membawa keduanya. Sementara Sussyle menatap tempat yang semula terang benderang berubah hitam secara perlahan sejak kedua orang itu pergi meninggalkan dirinya disini.
"Aku tidak lagi mulia."
Kesemua tempat menjadi gelap bahkan banyak bunga yang tadi warna warni berubah menjadi bunga merah dan hitam satu persatu saat Sussyle melangkahkan kakinya.
"Kertas putih yang sudah ternoda dengan darah dan warna kelam tidak akan pernah lagi bisa menjadi kertas putih yang bersih."
Seperti yang dikatakan Sussyle, terlanjur jahat tidak akan bisa kembali baik lagi.
(Bersambung)
Akhirnya part mereka end! Hoho gimana buat ending cerita mereka? Kalian marah gak sama Verla? Atau malah kasian? Trus gimana pendapat kalian tentang Sussyle? Heii, aku suka ending ini. Haha😆👌
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Papa Is A Grand Duke!
FantasyAwalnya Lucion hanya mengabaikan setiap kali burung serupa gagak tapi lebih besar dari gagak itu sering mengikutinya. Lucion mungkin sampai akhir hanya akan mengabaikannya, sebelum burung gagak besar itu berubah menjadi pemuda tampan Dan membungkuk...