11. Awal Sebuah Rasa

46 4 8
                                    

Awalnya aku menentang. Sampai aku sadar, bahwa hadirmu memang yang ku butuhkan.

-

"Udah, deh, sana pergi! Gue nggak apa-apa. Lagian, ini udah nyampe rumah gue juga."

Arumi lagi-lagi memandang malas ke arah pemuda jangkung yang bersikeras turun mengantarnya masuk ke dalam rumah. Sungguh, kakinya hanya terkilir bukannya lumpuh, tetapi Tala memperlakukannya seolah-olah dia tidak bisa lagi berjalan. Padahal, jarak gerbang juga teras rumahnya hanya beberapa meter.

Sudah bermenit-menit yang lalu Arumi menyuruh Tala pulang, tetap saja Tala menolak. Sama seperti di UKS tadi, jika saja Arumi tidak memaksa dan memintanya untuk bergegas agar segera menemui teman band-nya, mungkin Tala juga tidak akan beranjak pergi. Sementara sekarang, Arumi tidak memiliki alasan lain untuk mengusir Tala. Ia kesal sendiri jadinya.

Arumi tahu kalau Tala mengkhawatirkannya, terlebih lagi ketika tadi dirinya hampir kembali terjatuh saat turun dari motor Tala yang tinggi itu. Dengan kaki terkilir seperti ini, jelas Arumi kesusahan. Namun, bukan berarti Arumi senang dengan sikap berlebihan Tala.

Mendengar ucapan Arumi, Tala sontak bertolak pinggang. "Kaki lo, tuh, lagi sakit Jingga. Nurut aja kenapa, sih? Pacar lo ini lagi khawatir!" tegasnya dengan mata melotot mengancam Arumi.

Arumi mengembuskan napas pasrah, ia tidak sanggup lagi mendebatkan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting ini. Bisa panjang urusannya. Tala itu tipe orang yang tidak mau mengalah jika sudah beradu argumen.

"Yaudah, iya."

Tala menyengir, tampak puas karena berhasil membuat Arumi menurut. "Sini pegangan," katanya sembari mengulurkan tangan. Mau tidak mau, Arumi menyambut uluran tangan Tala walau enggan.

"Anterin sampai depan teras aja, ya? Habis itu lo langsung balik."

"Iya, iya, bawel."

Dengan perlahan, Tala menuntun Arumi melewati gerbang menuju teras rumah. Langkah tertatih Arumi membuat Tala dengan sabar menyesuaikan ritme jalannya.

"Udah, 'kan? Sana balik." Arumi melepas pegangannya pada Tala ketika tungkainya sudah menginjak lantai teras.

Tala kali ini berdecak, maniknya menatap tepat pada netra cokelat milik Arumi. "Hobi banget ngusir pacar sendiri? Nggak suka, ya, gue perhatian gini?" tanyanya serius.

Arumi tercekat.

"Nggak apa-apa usir gue dari hadapan lo, tapi jangan pernah usir gue dari hati lo, ya? Karena gue bahkan belum bisa nyampe ke sana," lanjutnya lirih.

Arumi memilih bungkam. Ia tidak menyanggah ataupun mencari pembelaan atas penuturan Tala. Sedikit terkejut karena tiba-tiba suasana menjadi serius dan canggung begini. Jujur saja, Arumi tidak benar-benar bermaksud mengusir Tala. Ia bukan mengusir Tala karena merasa terganggu atau tidak menyukai perhatian yang pemuda itu berikan, Arumi hanya merasa Tala sedikit berlebihan menanggapi cedera kecil yang sebenarnya sama sekali tidak fatal. Padahal, kakinya bisa sembuh dalam waktu beberapa hari.

"Lo beruntung banget, Rum, jadi pacar Tala."

Dan tiba-tiba saja, ucapan salah seorang anggota PMR di UKS tadi seperti tamparan keras untuknya. Perdebatan batin yang sempat terjadi saat ia mendengar ucapan itu juga kembali terngiang.

Lo beruntung banget, Rum.

Lo beruntung.

Beruntung banget.

Gadis itu masih tertegun. Mencerna kalimat demi kalimat yang kembali berputar di kepalanya, sampai sebuah tangan menarik keras pipinya membuat ia kontan tersentak. Obsidian kelam milik Tala memerangkap netranya. Pemuda itu sekarang malah menggerling jahil.

1432, Tala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang