03. Langkah Awal

87 15 10
                                        

Mungkin memang sudah saatnya ... untuk mempertahankan yang harus dipertahankan dan melepaskan yang harus dilepaskan.

-

Sepanjang perjalanan, Arumi hanya bisa menggigit bibirnya dalam sambil sesekali menatap tangannya yang kini menggenggam ujung jaket Tala. Tidak ada percakapan sejak Tala melajukan motornya membelah jalanan ibu kota, pemuda itu tampak sangat fokus mengendarai motornya. Arumi sendiri tidak berminat untuk memulai, takut semakin memperkeruh suasana.

Sejujurnya, hati dan pikirannya masih saja berdebat. Arumi Ingin meminta maaf, tetapi disisi lain ia sama sekali tidak merasa bahwa tindakannya ini salah. Bukannya Tala tahu, apa yang sebenarnya terjadi di antara Arumi dan Erza? Tala tidak mungkin merasa terkhianati, 'kan? Karena sejak awal, Tala sendiri yang bersedia membantunya menyempurnakan skenario yang ia buat.

Tala sendiri yang mengatakan bahwa ia tetap akan menerima walau perasaannya belum atau mungkin sama sekali tidak akan berbalas. Tala juga berjanji tidak akan memaksakan kehendak apapun kepada Arumi, asal Arumi mau menjalani hubungan resmi sebagai sepasang kekasih. Jadi seharusnya, Arumi tidak memiliki kewajiban meminta maaf ataupun merasa bersalah pada Tala. Benar, ia sudah memutuskan, ia tidak perlu meminta maaf dan tidak ada yang perlu dipikirkan lagi.

Arumi menghela napas untuk kesekian kalinya, bertepatan dengan motor Tala yang berhenti di sebuah lapangan basket dekat taman perumahan Erza. Membuat pandangan Arumi langsung terjatuh pada seseorang yang duduk menyendiri dengan kepala menunduk di undakan tangga panjang pinggir lapangan.

Arumi langsung turun dari boncengan Tala seraya membuka helm putihnya dengan tergesa. "Lo langsung pulang aja, nggak perlu nunggu," katanya pada pemuda yang kini menatapnya lekat.

Tala membuka kaca helm full facenya, membuat Arumi dapat melihat mata sayu pemuda itu, tetapi Arumi memilih untuk tidak peduli. Seseorang yang duduk di sana jauh lebih membutuhkannya.

"Jangan pulang terlalu larut," peringat Tala, Arumi hanya menghela napas dan menggangguk kecil sebagai respons.

"Jangan pulang sendirian, kalau Erza udah mendingan, suruh dia aja yang anterin balik." Tala masih melanjutkan ucapannya, kali ini ia menepuk lembut puncak kepala Arumi.

Arumi masih diam mendengarkan. Ia tahu masih ada yang ingin dikatakan pemuda itu, walaupun sebenarnya ia ingin cepat-cepat menghampiri Erza yang tampaknya masih belum menyadari keberadaan mereka.

"Gue ...."

Tala menggantungkan ucapannya, membuat Arumi mengernyit samar. "Ada lagi?" tanyanya, karena pemuda itu tidak kunjung membuka mulutnya lagi.

"Nggak." Tala menggeleng sekali, ia lalu menyalakan mesin motornya, bersiap pergi. "Kalau gitu gue pamit."

Arumi hanya mengangguk kecil. Ia memerhatikan pemuda itu yang kembali menurunkan kaca helmnya dan perlahan mulai menarik gas hingga motor merahnya melaju dan berbaur bersama kendaraan lain di jalanan malam itu. Setelah memastikan Tala beserta motor merahnya sudah tidak terlihat lagi, Arumi berbalik dan berlari kecil menghampiri Erza yang langsung menoleh menatapnya kala ia duduk di samping cowok itu.

"Erza—"

Arumi tercekat. Ia benar-benar merasa sesak saat samar-samar netranya menangkap lebam yang tampak baru di tulang pipi sebelah kanan Erza. Lampu taman yang temaram nyatanya tidak mampu menutupi lebam ungu kebiruan yang tampak jelas pada kulit putihnya. Tangan Arumi terulur, ingin menyentuh wajah pemuda itu, tetapi Erza dengan sigap menjauhkan wajahnya dari tangan Arumi.

"Kamu ke sini sama Tala?" Alih-alih merepons panggilan Arumi, ia malah melontarkan pertanyaan yang membuat Arumi membatu dengan tangan yang masih mengudara.

1432, Tala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang