06. Jingga Nabastala

70 7 4
                                    

Senja dan senyumku adalah
perpaduan yang sempurna kata dia.

-

"Tala, lo beneran nggak apa-apa?"

Tala menghela napasnya pelan. Arumi terus-menerus melontarkan pertanyaan serupa sejak Tala memacu kendaraannya meninggalkan pelataran SMA BINA HARAPAN. Bahkan, ketika tadi mereka mampir ke sebuah rumah makan untuk mengisi perut terlebih dahulu, Arumi masih mencecarnya dengan pertanyaan tersebut. Entah ini menjadi pertanyaan keberapa puluh kalinya, dan Arumi masih belum menyerah juga. Maka dari itu, setelah ia memberhentikan motornya, ia langsung menoleh ke belakang, menatap Arumi yang kini juga memandangnya lekat dengan raut wajah khawatir.

Tala tidak akan mengelak, bahwa ia bahagia dikhawatirkan sedemikian rupa oleh Arumi. Jadi, alih-alih merasa kesal diberikan pertanyaan yang sama berulang kali, ia malah mengeluarkan tawa kecilnya, menatap gemas pada Arumi yang kini mengernyit bingung akibat Tala yang tiba-tiba saja tertawa di balik helm yang menutupi setengah wajahnya.

"Kok, ketawa, sih?"

Tala mengulurkan tangannya mengacak gemas surai gadis itu masih dengan tawa yang terpatri. "Gue beneran nggak apa-apa, Arumi. Lo nggak perlu khawatir," ujarnya geli melihat Arumi yang sekarang memicingkan matanya.

"Tapi, lo pucat banget tau nggak? Apa lo tadi nggak sekolah karena sakit? Kalau iya, lo nggak perlu repot-repot jemput gue gini."

Arumi kali ini benar-benar khawatir karena wajah Tala yang pucat. Ia baru sadar saat tadi masih di sekolah, ketika ia menghampiri Tala setelah memutus sambungan telepon mereka. Wajah Tala yang biasa cerah, hari ini terlihat lebih redup, bahkan terlihat sedikit lemas. Namun, Tala tetaplah Tala, pemuda itu tetap bertingkah sebagaimana pribadinya yang konyol dan tengil.

"Gue beneran nggak apa-apa, Arumi. Bukannya lo udah nerima titipan gue dari Tio pagi tadi? Gue udah janji jemput lo, 'kan?"

"Ya, tetap aja Tala! Kalau lo sakit nggak perlu—"

"Gue nggak sakit, Arumi," ucapnya sembari kembali menghela napas pelan, ia kemudian membuka helmnya karena merasa gerah. "Lo nggak mau turun? Leher gue pegel noleh setengah gini."

Arumi mengerjap. Ia baru tersadar, jika mereka berdua berdebat masih dengan posisi duduk di atas motor milik Tala. Dan saat itu juga, Arumi menyadari jika mereka bukan berhenti di depan rumahnya, melainkan di depan sebuah pos kecil dengan dua orang pria yang Arumi perkirakan berumur dua puluhan ke atas. Jika Arumi tidak salah menebak, tempat itu adalah parkiran.  Meski sepi, tetapi tetap saja terdapat beberapa kendaraan roda dua maupun roda empat selain kendaraan milik Tala.  Sontak, Arumi kembali menoleh pada Tala yang masih setia pada posisinya—masih menatap Arumi dengan menolehkan setengah kepalanya.

Arumi lantas turun dari motor besar Tala, diikuti pemuda itu setelahnya. Gadis itu memerhatikan sekelilingnya yang rimbun akan pepohonan kelapa dan beberapa pohon berbatang besar yang tidak ia ketahui namanya. Arumi kembali memandang Tala yang sudah berbincang santai dengan dua orang pria di pos tadi, yang ternyata menghampiri mereka.

"Tala ...." Arumi memanggil Tala dengan bisikan kecil, tetapi masih sanggup membuat Tala menoleh.

Kedua orang yang berdiri di hadapan mereka juga ikut mengalihkan atensinya pada Arumi dengan penasaran. "Siapa ini, Mas Tala? Pacarnya, ya?" tanya salah satu dari pria itu dengan intonasi yang jelas menggoda.

1432, Tala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang