Aku pernah berharap. Aku pernah berangan. Hanya saja, semua itu tak pernah berakhir ku dekap.
-
"Kamu nembak aku?" Pipi gadis itu merona seketika, saat paham apa yang baru saja lawan bicaranya sampaikan. Ia tak kuasa menahan senyumnya, lantas menunduk, mencoba menghindar dari tatapan dalam sosok di hadapannya, memilih menatap rok abu-abu juga sepatu hitam yang masih tampak baru.
Sang lawan bicara sontak terkekeh gemas sembari tangannya terulur menarik pelan pipi si gadis. "Iya, aku mau kamu jadi pacar aku, Rum," sahutnya mantap.
Gadis itu, Arumi. Dengan gerakan perlahan, ia kembali mendongak untuk menatap sang lawan bicara. Mata bulatnya berbinar, sedangkan seseorang yang bersitatap dengannya saat ini sedang tersenyum lebar hingga lesung pipitnya terlihat.
Tidak bisa dipungkiri, Arumi sangat senang sekarang. Erzaㅡsang lawan bicaraㅡbaru saja mengajaknya berpacaran. Hei! Apa Arumi sedang berhalusinasi? Erza baru saja menembaknya! Ini momen yang sudah Arumi tunggu sejak lama. Dan sekarang, di salah satu taman kota yang tidak terlalu padat pengunjung, masih dengan memakai seragam putih abu-abu yang baru beberapa minggu ini menjadi tanda bahwa mereka sudah resmi berada di jenjang SMA, Erza membuat keinginan lamanya menjadi nyata.
Ia dan Erza sudah kenal sejak pertama kali mereka berada di satu gugus yang sama saat masa MOS di SMP. Berlanjut karena keduanya selalu berada di kelas yang sama, dan sekarang pun mereka sama-sama melanjutkan pendidikan di SMA BINA HARAPAN serta lagi-lagi dipertemukan di kelas yang sama. Jika dihitung, sudah tiga tahun lebih lamanya mereka dekat. Bahkan, saat masih SMP Arumi sudah memperkenalkan Erza pada Kiran, sahabatnya sejak di bangku TK.
Dan, seolah tersadar sesuatu, senyum Arumi yang tadi merekah seketika meluruh. Ia kembali menunduk, menggigit bibirnya dalam sebelum berujar pelan, "tapi, Za, Kiran ...."
Seakan paham, Erza dengan cepat menyanggah ucapan Arumi. "Rum, berhenti mikirin perasaan orang lain! Belum tentu orang itu mikirin perasaan kamu juga, saat dia berada di posisi ini sekarang."
"Tapi Kiran sahabat aku, Za," katanya pelan, masih menunduk.
"Emang Kiran pernah bilang langsung kalau dia naksir aku? Nggak, 'kan?"
Arumi terdiam. Apa yang diucapkan oleh Erza memang benar, Kiran tidak pernah mengatakan langsung pada Arumi jika gadis itu menyukai Erza. Namun, Arumi bisa melihatnya lewat gelagat Kiran ketika bersama Erza. Dan rupanya, pemuda itu juga menyadarinya.
Arumi memang menyukai Erza, mungkin lebih dahulu dibanding perasaan Kiran. Sekarang, Arumi tahu jika Erza juga membalas perasaannya, tetapi Arumi tidak ingin menyakiti Kiran. Kiran baik, Kiran sahabatnya, dan Arumi tidak mau hanya karena menyukai orang yang sama, mereka menjadi jauh. Bahkan, berbicara dengan menggunakan 'aku-kamu' alih-alih 'lo-gue' saat mereka hanya berdua begini saja Arumi sebenarnya sudah merasa bersalah.
Terdengar helaan napas berat dari Erza, membuat Arumi kembali mendongak menatap tepat manik gelap itu. Sesaat hening, sampai Erza kembali angkat suara.
"Kalau kamu takut Kiran marah, kita bisa jalanin ini dengan backstreet kalau kamu mau."
Arumi terperangah, memikirkan kalimat Erza. Apa jika ia dan Erza menjalani hubungan ini tanpa sepengetahuan Kiran akan baik-baik saja? Dengan begini Arumi tidak perlu takut menyakiti Kiran bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
1432, Tala!
Novela Juvenil"Semua hal, pasti akan tiba pada akhirnya." Kotak berukuran sedang dengan warna putih-abu yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh, membuat Arumi mengenang kembali hari-harinya sebagai siswi SMA. Juga, orang-orang yang pernah hadir di masa putih ab...