Pada dasarnya, rasa kita tak setimpal. Namun
faktanya, pergimu tetap menjelma luka. Mengukung rutuk penyesalanku, dalam lembar-lembar penuh duka.-
Arumi merasakan darahnya berdesir cepat. Tungkainya berhenti melangkah. Ia terhenyak. Derit gerbang yang baru saja dibuka menjadi satu-satunya lantunan irama di tengah kecamuk tanya beserta rasa yang kembali memaksa menerobos. Sejak perjumpaan di taman sekolah yang berlangsung beberapa jam lalu, Arumi dapat memastikan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari penampilan Erza. Pemuda itu masih melemparkan senyum berlesung pipit menawan meski sempat berlaku kikuk, tampilannya masih rapi tanpa cela dan wajahnya bersih tanpa luka. Satu-satunya hal mengkhawatirkan yang terngiang setelah pertemuan keduanya di benak Arumi mungkin tentang lonjakan rasa bersalahnya, serta raut kecewa Erza ketika ia memilih menolak pinta pemuda itu.
Kembali Arumi berjibaku dengan berbagai macam rasa yang lagi-lagi menyeruak. Daksanya ia biarkan mematung di tempat, belum berani mendekat memastikan kecamuk persepsi yang terus menari-nari. Sementara, obsidian kecokelatan miliknya terus menatap lekat raga penuh lebam Erza yang duduk menunduk di beranda rumahnya. Arumi yakin Erza telah mengetahui kedatangannya lewat suara motor Tala serta derit pagar yang di geser, hanya saja pemuda itu sama sekali tak bereaksi, tetap terpaku dengan kepala tertunduk.
"Itu Erza 'kan?" Lontaran tanya Tala membuat Arumi terkesiap, sadar atas keterpakuannya. Tala sudah berdiri di sebelah Arumi tanpa melepas helm full face miliknya. "Dia masuk lewat mana, ya? Bukannya tadi pagarnya lo gembok, Jingga?" cetus Tala keheranan, tetapi terasa konyol bagi Arumi, membuatnya tak kuasa menahan dengkusan geli.
Tentu saja Erza bisa masuk, karena Arumi yang meminta khusus ART-nya untuk menetap lebih lama hari ini, sebab dirinya yang akan pulang larut. Tebakannya Erza pasti berpapasan dengan Bibi, sebelum wanita paruh baya itu berpamitan pulang di pukul sepuluh malam tadi.
Pemikiran yang melintas lantas menyentak. Pesan singkat yang dikirim Bibi ketika hendak mengabari untuk berpamitan pulang, sudah lewat sejak dua jam yang lalu. Itu berarti, Erza dengan keadaannya yang memprihatinkan sudah menanti selama itu. Tiba-tiba saja sesak lagi-lagi hadir, menghimpit dadanya, membuat aliran panas dengan cepat membasahi mata. Rasa bersalah atas pengabaian yang sedari tadi coba ia tekan kembali muncul. Arumi sungguhan tak tega melihat kekacauan Erza.
Sisi dalam hatinya balik memberontak. Arumi ingin bergegas menghampiri Erza, membawanya ke dalam dekapan, mengucap kalimat penenang, dan mengobati lebam fisik dan hati yang pemuda itu bawa. Meyakinkan bahwa mereka berdua pasti baik-baik saja, tanpa perlu mengorbankan rasa yang sudah terlanjur dalam. Namun demikian, masih tersisa kewarasan, bahwa ketidakmungkinan akan selalu bermain peran. Arumi masih ingat ikrar yang baru beberapa jam lalu kembali ia lantangkan di hadapan Tala, juga terhadap dirinya sendiri.
Jadi setelah tarikan napas panjang, dengan berat hati Arumi menoleh pada Tala. Ditatapnya pemuda jangkung itu dengan sorot permohonan, "Biarin gue ngomong sama Erza malam ini," pintanya lirih.
Tala melepas helm, kemudian mengarahkan penuh atensinya pada Arumi. "Silakan, Jingga. Gue nggak bakal pernah ngelarang, itu hak lo, kok," sahut Tala melempar senyum menenangkan.
"Gue janji cuma bakal ngelurusin semuanya lagi ke Erza." Arumi refleks memperjelas maksudnya, teringat akan pendar kecemasan Tala di taman sekolah sebelumnya.
Arumi tak ingin membuat Tala sakit hati lagi. Tala berhak mendapat rasa yang sebanding. Lagipula, tekad Arumi sudah bulat. Walau tersisa sedikit ketidakrelaan, tetapi Arumi paham, langkah yang diambilnya demi kebaikan semua pihak yang terlibat. Maka Arumi pun kembali meyakinkan diri, meskipun lara masih saja bergelayut menyaksikan kekacauan Erza.

KAMU SEDANG MEMBACA
1432, Tala!
Jugendliteratur"Semua hal, pasti akan tiba pada akhirnya." Kotak berukuran sedang dengan warna putih-abu yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh, membuat Arumi mengenang kembali hari-harinya sebagai siswi SMA. Juga, orang-orang yang pernah hadir di masa putih ab...